Gorontalo pada Tahun Baru 2050

oleh
pada
Funco Tanipu.(f/doc).
banner 468x60

Pada subuh yang dingin, di ambang subuh 1 Januari 2050. Semua orang tak lagi berkerumun untuk merayakan malam tahun baru. Tak ada lagi yang spesial di malam tahun baru.

Pada sebuah lorong, di salah satu sudut Gorontalo, seorang anak terbaring lemas tak berdaya dipangkuan ibundanya, anak itu menangis karena seharian hanya disusui air putih oleh ibunya. Ayah dari anak itu adalah seorang pemungut sampah, golongan sudra jazirah ini. Ia tak punya pilihan, anaknya kehausan tak bisa menikmati susu yang dijual di gerai toko yang dingin dan nyaman. Air minum pun tak lagi jernih, sudah kabur oleh kotoran dalam tanah.

Sudah mahfum bagi warga Gorontalo di kala itu, jika susu adalah barang langka dan mahal tak terkira. Di tahun 2050, harga susu lebih mahal daripada emas. Membasahi tenggorokan bayi lebih penting dibanding menghiasi diri dengan untaian emas. Di tahun 2050, orang Gorontalo yang punya gudang air sama seperti memiliki berhektar-hektar kebun kelapa, sawah, cengkih.

Tahun 2050 adalah tahun di mana angka gizi buruk semakin tinggi, signifikan dengan angka kematian ibu pasca melahirkan. Gizi hanyalah pelajaran yang diteorikan di ruang-ruang kelas saat itu. Bukan kenyataan!

Belum lagi jika merasakan suhu di tahun 2050. Gorontalo seperti disinari 5 matahari. Udara amatlah panas, banyak yang mati dehidrasi. Pendingin udara sangat mahal, hampir menyamai harga mobil. Mobil pun mengalami penurunan harga yang luar biasa. Warga tak sanggup lagi dengan harga premium yang mencekik. Maklum, 20 tahun sebelumnya, 2030, cadangan minyak Indonesia sudah memasuki titik kritis.

Gorontalo di tahun 2050 benar-benar memasuki masa darurat. Manajemen apapun yang diterapkan selalu ditentang warga yang lapar dan haus. Setiap pemerintahan dijatuhkan hanya dalam hitungan bulan. Tak ada lagi yang berminat memimpin Gorontalo.

Gubernur bukan lagi rebutan di tahun 2050, karena dipastikan berhadapan dengan warga yang beringas. Di saat itu, tak ada lagi preman, semua warga tak ubahnya berkelakuan seperti preman, bahkan zombie: saling sikut, saling mangsa, dan saling rebut sumberdaya!

Di saat yang sama, orang-orang kaya harus menyewa tentara bayaran bersenjatakan senjata mesin otomatis hanya untuk mengamankan sumberdaya yang masih ia miliki. Demokrasi bukan lagi resep menarik bagi warga untuk memperbaiki kenyataan. Tahun 2050, demokrasi sekarat, karena hanya untuk hidup pada hari itu saja, seluruh warga butuh perjuangan yang berdarah-darah.

Kembali ke Tahun 2021

Maaf pembaca budiman-budiwati, cerita di atas tak sanggup saya lanjutkan. Sebagai gantinya, perkenankan saya ajukan pertanyaan sederhana: apakah kita akan mewariskan masa depan yang beringas untuk anak cucu kita? atau sedari sekarang masa depan itu kita rangkai, bagaikan menenun sebuah kain yang akan dijahit menjadi baju. Masa depan pada hakekatnya terbuka, masa depan karenanya adalah propabilitas. Sejuta kemungkinan dengan satu peluang.

Kita sadar bahwa cadangan harta bumi kita semakin tipis, namun sifat eksploitatif kita melebihi ketersediaan itu.

Kontras dengan tingkah sebagian kecil warga yang sibuk mengurusi diri sendiri, mengatur penampilan di panggung kampanye, menggandakan cetakan senyum yang dipasang di tiap pohon dan perempatan jalan. Semua seperti tak pernah merasa jika umur manusia terbatas, termasuk sumber daya alam. Mereka hanyut dalam kerakusan yang tiada batas.

Gorontalo ini butuh perhatian dan keseriusan bersama. Harapan anak-anak masa depan ada pada kita, warga Gorontalo di bulan Desember tahun 2021.

Jelang beberapa jam menuju pergantian tahun 2021 ke tahun 2022, sudah semestinya dijadikan momentum saling bicara antar sanubari. Setiap orang (khususnya elit politik) semestinya membuka diri, menyapa antar sesama, membagi gagasan, merenungi kekurangan diri, mendiskusikan kebuntuan.

Sebab, elit yang juga tokoh politik terbaik adalah yang mempunyai potensi untuk mengubah Gorontalo kita, mengarahkan Gorontalo ini agar tidak mengarah ke jalan kebangkrutan. Kita butuh elit politik yang berkemampuan mengambil resiko, penakluk keterbatasan dan kelemahan, penerobos dinding-dinding kelaziman yang usang karena tak mampu beradaptasi dengan zaman.

Gorontalo ini butuh kerjasama, bukan pertikaian, apalagi kerakusan! Kita lebih memiliki memori sinisme, yakni memori yang terprogram secara kolektif melihat setiap hal dari sisi negatif saja.

Misalnya, yang berkinerja baik dicerca, yang berhasil dipatahkan, yang mudah malah dipersulit. Memori kolektif ini membuat politik kita berada di posisi yang selalu kalah sebelum berkompetisi, politik kita berada di level terburuk sepanjang masa, karena politik bukan diperuntukkan mencari jalan keluar, tetapi mencari cacat cela. Politik bukan untuk mencari kebenaran, tapi mengincar dan menguliti kesalahan!

Padahal, jika kita tarik ke masa lalu, Gorontalo adalah jazirah yang memiliki modal sosial yang cukup berharga. Energi sosial-spiritual getarannya cukup kuat.

Karena itu seharusnya bisa memberi perspektif dan arah lebih baik. Gorontalo dikelilingi titik kosmos spiritual yang masih tersisa dari era ketika Islam ditegakkan di tanah ini. Kita bisa mengenali jejaknya dari Ju Panggola, Ta Ilayabe, Hubulo dan masih banyak nama lainnya yang bahkan lupa kita catat. Mereka bukanlah seonggok sejarah tak bernilai, nilai mereka ada pada derajat nuansa spiritual dibanding daerah di seputaran Tomini.

Tak salah jika Gorontalo dijuluki Serambi Madinah, itu semacam niat, seperti doa. Apakah tradisi niat baik, ritual doa masa depan itu kita singkirkan saja? Tak ada masa depan tanpa harapan. Tiada hari esok tanpa doa bersama, semua warga jazirah ini.

Ancaman sudah di depan mata. Intensionalitas kita seperti diperkosa. Kebangkrutan budaya, perayaan modernitas dan kegenitan politik dengan segala kerendahannya menjadi pintu masuk untuk mewariskan musibah bagi anak cucu kita.

Bahaya sedang menunggu kita di tikungan. Persis di situ, kita harus memenangkan masa depan Gorontalo, tak cukup satu jargon saja. Memenangkan masa depan Gorontalo harus dilalui dengan membenahinya, merawat harapannya, menyuntikkan nilai spiritualnya.

Apa Yang Harus Baru di Tahun Baru 2022?

Apa yang baru dari tahun baru? Sekedar pergantian tahun yang sebenarnya adalah pergantian detik? Ataukah semacam penanda dari pelepasan masa traumatik dari tahun sebelumnya? Ataukah ada sejumput harapan yang diharapkan?

Memang banyak yang menolak momentum tahun baru untuk dirayakan. Bagi sebagian kalangan, hal ini tidak sesuai dengan kaidah agama. Namun, bagi bangsa yang miskin momentum, pergantian tahun bisa dijadikan sarana kolektif (karena terlanjur massif) untuk menghadirkan penanda bagi kesadaran baru yang lebih bersemangat.

Walaupun sebenarnya pergantian tahun “hanyalah” pergantian detik dan angka, tetapi momentum kolektif ini bisa jadi waktu untuk membangkitkan kesadaran kolektif untuk bisa merawat energi perlawanan terhadap masalah-masalah bangsa ; korupsi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, radikalisme, hingga perilaku negatif yang menyeret bangsa ini pada keadaan yang tragik.

Karena itulah maka tahun baru tidak bisa dianggap sebagai rutinitas, dalam artian “hanya gitu-gitu aja”, tanpa ada kesan mendalam, yang harusnya menjadi pelecut kesadara. Momentum tahun baru menurut saya adalah penanda latihan kesabaran dalam merawat harapan untuk tahun berikut sekaligus mengelola kekecewaan pada tahun sebelumnya.

Tahun Baru juga disambut dengan sukacita, ada yang pergi ke pantai, ada yang ke mall, ada yang nginap di hotel, ada yang berlibur ke kota-kota besar. Tahun baru dimaknai sebagai pelepas jenuh dari panjangnya rutinitas dan kerja selama setahun.

Liburan pada akhirnya adalah soal pergeseran makna dari yang mestinya perenungan, refleksi, dan kontemplasi, menjadi kegiatan konsumtif dalam taraf rekreasi panca indera.

Memegang pada tali kebenaran adalah sangat penting di zaman yang kini disebut zaman edan. Zaman edan menurut Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha adalah zaman dimana orang pandai belum tentu sukses, dan orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting adalah berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya sengsara.

Menurut Ronggowarsito, pada zaman edan inilah orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Mau mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Bagi mereka yang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin terpinggirkan.

Bagi Ronggowarsito, yang mesti dilakukan adalah “luwih begja kang éling klawan waspada” (akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).

Artinya, dalam semua kejumudan zaman dan masa, yang penting adalah selalu ingat padaNya, dan terus memegang erat tali kebenaran yang terjalin dari masa ke masa, sejak zaman Rasulullah hingga pada Ulama pewarisnya hari ini. Kebenaran itu adalah silsilah emas yang terus terjaga dan terawat hingga akhir zaman/masa.

Sejatinya, waktu bukan tentang detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Waktu bukan kalender. Kalender itu imanen, dibuat manusia. Adapun waktu itu transenden, ciptaanNya.

Karena itu, momentum pergantian tahun semestinya juga adalah mengganti kesadaran baru, yakni kesadaran yang lebih hakiki mengenai pemaknaan terhadap waktu seperti apa yang telah diingatkan dan digariskan dalam Surat Al ‘Asr : (1). Demi Masa. (2). Sungguh, manusia berada dalam kerugian. (3).

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Dalam surat ini, ada penegasan yang serius mengenai kerugian manusia jika lalai dengan waktu, kecuali bagi mereka yang terus berpegang pada kebenaran dan terus sabar. Semoga kita sekalian terus beroleh berkah, untuk masa kini dan masa depan tentunya.(*).

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan