Pers Hari Ini: Harusnya ‘Penanggungjawab’ yang Duduk di Kursi Pesakitan

oleh
banner 468x60

HABARI.ID I Melihat seorang kawan yang duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Tipikor dan Hubungan Industrial Gorontalo, Rabu (22/06/2022) siang kemarin, saya teringat 4 tahun silam. Saat masih di koran dulu. Sebagai reporter, sama seperti kawan saya itu, Ronald Ali namanya, saya pernah jadi saksi di Pengadilan terkait pemberitaan untuk kasus serupa, kasus pencemaran nama baik.

Saya, sebagai reporter sekaligus redaktur saat itu, sebenarnya tak perlu duduk di kursi pesakitan kalau saja sedari awal paham tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers, tahu tentang sistem pertanggungjawaban Pers dan tahu siapa yang seharusnya memberi kesaksian di Pengadilan.

 

Sistem Pertanggungjawaban Pers

Wina Armada, Ahli Pers PWI, di salah satu bukunya yang diterbitkan Dewan Pers, menerangkan secara gamblang mengenai Sistem Pertanggungjawaban Pers yang dianut Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kalau sengketa pemberitaan sudah menyangkut gugatan Perdata, maka pertanggungjawaban yang berlaku adalah Sistem Pertanggungjawaban Korporatif. Yang bertanggung jawab adalah badan hukum pers. Bahasa sederhananya adalah, jika ada beban yang harus dibayarkan sebagai konsekuensi dari gugatan perdata, maka yang bertanggung jawab perusahaan pers (korporasi).

Tapi kalau sudah menyangkut pidana, maka pertanggungjawaban yang berlaku adalah pertanggungjawaban fiktif dan sukseksif. Disebut fiktif, karena walaupun persangkaan atau dugaan tindak pidana atau perbuatan pidana dilakukan seorang reporter atau redaktur, keduanya tak dapat dikenakan tuduhan sebab pertanggungjawabannya sudah diambil alih oleh pihak lain yaitu nama penanggungjawab yang dicantumkan sebagai Penanggungjawab.

Dan boleh jadi, pelimpahan tanggung jawab yang sudah diambil alih Penanggungjawab, muncul karena adanya mekanisme berjenjang (proses pengeditan) di dapur redaksi untuk menghasilkan karya jurnalistik yang sudah mempertimbangkan berbagai aspek, terutama mempertimbangkan aspek kepantasan menurut etika jurnalistik hingga menghasilkan produk jurnalistik yang dinilai ‘layak tayang’ di media yang dikelola perusahaan pers.

Tak lagi menjadikan reporter sebagai ‘kambing hitam’, adalah sebuah langkah maju dalam konteks perlindungan terhadap wartawan yang menjadi bagian manifestasi dari ‘metamorfosis’ Undang Undang Pers. Pers Indonesia pernah melewati fase di mana sistem pertanggungjawaban ‘air terjun individual’ berlaku, sebagaimana dianut Undang Undang Pers lama, UU Pers No. 11 Tahun 1966.

Penyelesaian Sengketa Pers Tanpa Melibatkan Reporter

Menjadi saksi di Pengadilan, tentu menjadi pengalaman pahit bagi seorang reporter. Perlu ada upaya sistematis yang dilakukan secara sadar untuk menghindarkan reporter memberi kesaksian di Pengadilan. Upaya yang tentu saja perlu melibatkan Penegak Hukum dan unsur Pers.

Di penghujung tahun 2021 lalu, di Konferensi Pers Akhir Tahun yang digelar Polda Gorontalo, saya menyampaikan ada baiknya jika setiap sengketa pers yang berproses lebih awal di kepolisian, tidak lagi mencantumkan nama reporter atau pembuat berita ketika melayangkan surat panggilan pemeriksaan. Tentu saja ini berdasarkan dalil sistem pertanggungjawaban yang dianut pers.

Di beberapa daerah, surat panggilan pemeriksaan terkait sengketa pers sudah dialamatkan langsung kepada Pimpinan Redaksi atau Penanggungjawab. Bagaimana kalau seandainya surat panggilan itu sudah terlanjur menyebut nama si pembuat berita atau reporter?. Ada hal bijak yang dapat dilakukan seorang reporter;

Sebagai warga Negara yang baik, penuhi panggilan itu. Lalu sampaikan ke penyidik, bahwa kedatangan di kantor Polisi bukan untuk memberi keterangan sebagai saksi, melainkan minta kepada penyidik agar menyurat kembali dan surat panggilan dialamatkan langsung ke Penanggungjawab.

Alasannya adalah, bahwa produk jurnalistik yang sudah ditayangkan media sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan pers melalui Penanggungjawab yang sudah ditunjuk perusahaan pers.

Artikel yang menjadi kesimpulan dari sebuah pengalaman empirik ini, setidaknya bisa jadi petunjuk bagi wartawan yang menerangkan tentang peran dan kedudukan Penanggungjawab. Kelak ketika mendapati situasi serupa, wartawan tahu apa yang harus dilakukan.  Pers hari ini, harus bisa mewujudkan perlindungan terhadap wartawan.***

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan