KLB Gerindra: Prabowo Ketum dan Capres 2029

oleh -201 Dilihat
oleh

HABARI.ID, POLITIK I Rapat pimpinan nasional atau Rapimnas Partai Gerindra Jumat (14/02/2025) di Jakarta, seketika diubah menjadi KLB (Kongres Luar Biasa).

Begitu tulis Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Gorontalo, Elnino Mohi, pada postingan di akun Facebook miliknya.

Rapimnas yang saat itu menjadi KLB, memang bukan tanpa alasan. Bahkan menjadi keputusan yang sangat penting serta strategis.

Karena melahirkan sejumlah kesimpulan, baik tentang masa depan Partai Gerindra, kader partai juga bangsa dan negara ini kedepan.

“Beberapa kesimpulan KLB, pertama menerima LPJ Kepengurusan dalam lima tahun terakhir. Kedua menunjuk lagi Prabowo Subianto menjadi Ketua Umum GERINDRA. Ketiga menunjuk lagi Prabowo Subianto menjadi Ketua Dewan Pembina (KDP) GERINDRA. Keempat menunjuk lagi Prabowo Subianto menjadi Formatur Tunggal untuk membentuk AD, ART dan menyusun struktur DPP Partai GERINDRA. Terakhir menunjuk Prabowo Subianto untuk menjadi calon Presiden RI dari GERINDRA untuk Pilpres tahun 2029,” terang Elnino.

Lanjut Aleg Fraksi Partai Gerindra DPR RI asal Gorontalo itu, secara umum Prabowo berbicara  tentang ICOR (Incremental Capital Output Ratio) dihadapan kader Gerindra peserta KLB.

Data ICOR berasal dari Bank Dunia. Data itu menunjukkan bahwa angka ICOR Negara Indonesia adalah 6,02 sementara Singapore memiliki ICOR 4,02.

“Apa artinya angka-angka itu? Artinya, mudahnya begini, Indonesia menghabiskan 6 dollar untuk mendapatkan 1 dollar. Artinya, Indonesia adalah negara yang paling tidak efisien di Asia. Kenapa tidak efisien? Sebab, ternyata dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) banyak uang rakyat yang tidak dipakai secara tepat. Akibatnya, banyak hal yang tidak perlu tapi dilakukan oleh pejabat (mungkin termasuk oknum-oknum DPR),” jelasnya.

Kebijakan Efisiensi Anggaran oleh Presiden Prabowo disalahmengerti oleh beberapa pejabat, sehingga pemangkasan anggaran dilakukan demi target Efisiensi.

Padahal, maksud Presiden Prabowo, adalah memindahkan dana atau anggaran yang dipakai untuk hal-hal yang tidak perlu, menjadi kegiatan yang benar-benar dirasakan oleh rakyat miskin.

“Contohnya, dalam suatu mata anggaran, terdapat Rp 20 Milyar untuk proyek pemberian CCTV untuk satu gedung. Padahal ruangan di gedung itu tak perlu menghabiskan 20 buah CCTV. Pertanyaannya, bukankah sebuah kamera CCTV hanya memerlukan tak lebih dari Rp. 1 juta? Anggaran yang tidak efisien seperti inilah yang dipindahkan ke hal-hal yang dibutuhkan rakyat. Jadi, bukan sembarang anggaran dikurangi,” ungkapnya.

“Penghematan yang dilakukan oleh Presiden Prabowo tentu tidak disukai oleh beberapa oknum. Sebab, kalau saya yang jadi oknum itu, penghematan itu berarti saya tak dapat ‘fee proyek’ CCTV – lihat contoh,” sambungnya.

Penghematan itu mampu mengumpulkan Rp. 750 triliun untuk program-program yang lebih produktif bagi masyarakat miskin.

Efisiensi yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo itu kemudian sebagiannya dikembalikan ke instansi uang bersangkutan. Hal ini di DPR RI disebut dengan “Rekonstruksi Anggaran”.

“Yang pasti, tidak satu pun di antara kita yang mau terjadi “the lost generation” di masa yang akan datang. Selebihnya, silahkan dianalisis, dikaji, dan diperdebatkan,” tutupnya.(bm/habari.id).

Baca berita kami lainnya di