GORR: Negara Dirugikan, Siapa Diuntungkan ?

oleh
Gorontalo Outer Ring Road
Jupri, SH. MH.
banner 468x60
Grasak-grusuk persoalan hukum Proyek Strategis Nasional Jalan Gorontalo Outer Ringroad (GORR) yang menghubungkan tiga daerah yakni Kabupaten Gorontalo, Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango sepertinya menjadi “olahan” pihak-pihak tertentu.

Padahal, sejatinya pembangunan Jalan GORR adalah untuk kepentingan masyarakat yang ada di Provinsi Gorontalo, diantranya, menghindari macet, objek pariwisata, peningkatan ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.

Namun, dalam kurun waktu setahun lebih proyek pembangunan GORR sepertinya terus menerus “sengaja” dimunculkan untuk kepentingan lain dan bukan untuk kepentingan masyarakat yang ada di Gorontalo.

Terakhir, terkait penetapan empat orang tersangka yang memunculkan beragam spekulasi, baik dari sisi hukum dan khususnya politik. Hal ini yang menjadi pertanyaan publik, pasalnya sampai saat ini jumlah tersangka yang ditahan oleh pihak kejaksaan hanya tiga orang, mereka adalah dua orang appraisal dan satu orang KPA Pemprov.

Sementara itu, satu orang tersangka masih menjadi misteri, apakah menghilang atau dihilangkan ? Jika menelisik kronologi proses pembebasan lahan GORR, seharusnya pihak yang berperan penting secara teknis adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Gorontalo.

Hal ini dikarenakan lembaga ini yang memiliki kewenangan dan tupoksi baik secara administrasi pertanahan dan teknis pembebasan lahan wilayah GORR dan prosedur teknis itu telah selesai dilaksanakan oleh BPN, termasuk penyajian data dan bukti-bukti kepemilikan tanah.

Selanjutnya, bukti-bukti dan data kepemilikan yang sudah dinilai appraisal diajukan ke Pemprov, dalam hal ini Kepala Biro Pemerintahan selaku KPA.

Namun, ada hal yang tidak lazim dalam hal proses penetapan tersangka yang diklaim merugikan negara dalam konstruksi hukum terkait korupsi, jika ada kerugian negara, berarti ada pihak yang diuntungkan. Dari empat tersangka ini, diyakini tidak mendapat manfaat keuntungan (materi).

Padahal kalau kita membaca pasal 2 pasal UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada frasa “……..melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi…..”. Atau pada pasal 3 ada frasa “…….tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi…..”

Artinya biasanya, dalam perkara korupsi yang menjadi tersangka adalah orang yang menikmati keuntungan itu. Anehnya, dalam perkara GORR ini pihak yang diuntungkan tidak dijadikan tersangka.

Dalam sistem keuangan pemerintahan di Pemprov sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Jo. PP No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Jo.

Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Permendagri No. 21 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ada yang disebut dengan Bendahara, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pengguna Anggaran (PA) juga ada yang disebut tim verifikator administrasi keuangan.

Jadi, bendahara adalah bendahara Biro Pemerintahan, kemudian PPTK merupakan pejabat Esselon III di Biro Pemerintahan, dan KPA adalah Kepala Biro Pemerintahan, sedangkan PA adalah Sekretaris Daerah, terakhir tim verifikator berada pada Badan Keuangan.

Apabila KPA berhalangan, maka yang melaksanakan kewenangan satu tingkat diatasnya yaitu PA yang dalam hal ini Sekretaris Daerah.

Ini menjadi sebuah sistem yang saling berkaitan satu dan lainnya dan tidak bisa dipisahkan, artinya jika terdapat kesalahan menjadi kesalahan bersama karena sifatnya berkaitan dan terstruktur.

Contoh, apabila KPA berhalangan maka otomatis proses pengelolaan keuangan naik satu tingkat diatasnya, yaitu PA. Dalam kasus GORR ini, KPA beberapa kali berhalangan tetap yaitu mengikuti Lemhanas dan Cuti Alasan Penting (Ibadah Haji) tentunya kewenangan yang melekat di KPA secara langsung diambil oleh PA (Sekda).

Kenyataannya, yang diduga oleh pihak kejaksaan yang melakukan kesalahan sehingga menimbulkan kerugian negara hanyalah KPA, dimana tanggungjawab Bendahara, PPTK dan terutama PA.

Kembali lagi pada persoalan teknis penetapan tersangka yang melibatkan empat orang tersangka sebagaimana tersebut diatas. Nyatanya satu orang yang berperan penting (Kepala BPN) belum diproses, sehingga publik menangkap ada “sisi gelap” dari penetapan tersangkan dalam kasus ini, apakah mengaburkan secara teknis persoalan pokok atau sengaja dihilangkan oknum-oknum yang bertanggungjawab dalam perkara ini.

Idealnya penegak hukum melakukan upaya paksa agar sesegera mungkin melakukan penahanan terhadapnya, karena bisa saja melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP yakni dikhawatirkan bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti. Publik hingga saat ini masih menunggu “permainan” atas perkara ini.(#).

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan