HABARI.ID I Sebagian kalangan masih menjadikan 14 Februari sebagai Valentine Day atau hari kasih sayang. Tak sedikit orang, tidak terkecuali generasi muda, menjadikan ini sebagai moment untuk melakukan praktik negatif, mulai dari seperti seks bebas dan sebagainya.
Menurut Rektor UNG, Dr. Ir. Eduart Wolok, ST, MT., peringatan Valentine Day dengan praktik yang negatif seperti seks bebas adalah budaya yang bertolak belakang dengan adat dan budaya Gorontalo yang berlandaskan nilai-nilai Islami.
“Budaya Gorontalo itu ada yang namanya Totolianga atau budaya saling sayang menyayangi sepanjang masa, dan sepanjang hayat. Itu adalah budaya leluhur kita yang berdasarkan ajaran Islam,” ungkapnya.
Bagi Eduart, Totolianga yang menjadi budaya orang Gorontalo, jauh lebih tinggi nilai kebaikannya daripada Valentine Day.
Eduart mengimbau kepada kaum muda khususnya mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo untuk menjauhi praktik-praktik yang bisa menjerumuskan diri pada sesuatu yang salah.
Hindari tradisi-tradisi negatif Valentine Day. Eduart mengajak mahasiswa untuk fokus menghadapi tantangan di masa pandemi COVID-19.
“Untuk menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan skill dan kompetensi yang inovatif, multi tasking, problem solver, kreatif, berpikir kritis, active learning, dan berjiwa kepemimpinan,” imbaunya.
Eduart menambahkan bahwa Totolianga itu adalah kearifan lokal yang harus terjaga dan terawat. Tidak ada kasih sayang yang hanya berlaku satu hari atau hanya diperingati sehari saja. Kasih sayang itu adalah sepanjang hayat.
Hari ini, tambah Eduart, saling sayang harus terimplementasi dalam konteks yang lebih luas. Seperti menyayangi sesama, antar orang tua dan anak, antar teman, antar sejawat.
Menyayangi dalam artinya yang luas ini, mulai luntur karena perubahan sosial yang sedang terjadi semakin individual.
Ketua PGRI Provinsi Gorontalo ini mengatakan, budaya Totolianga. Ini bisa menjadi modal penting agar bisa sama-sama berkolaborasi untuk bangkit dan keluar dari kesulitan akibat pandemi COVID-19.(rls/habari.id)