Surat “Cinta” Untuk Wali Kota Gorontalo

oleh
Penulis, Muhammad Makmun Rasyid
banner 468x60

Sebelumnya saya mendoakan Bpk. H. Marten Taha, SE., M.Ec.Dev selalu sehat dalam menjalankan tugas sebagai Walikota Gorontalo periode kedua bersama Bpk. Ryan Kono.

Tugas bapak di Kota Gorontalo yang merupakan barometer dari Provinsi Gorontalo dengan penduduk jiwa 197.613 jiwa dan tingkat kepadatan 2.505 orang/km2 (Lih. Kota Gorontalo Dalam Angka, 2018) bukanlah hal yang mudah. Kota Gorontalo sebagai barometer Provinsi Gorontalo membuat saya sebagai generasi muda, menitipkan harapan besar untuk perubahan Serambi Madinah yang signifikan, terukur dan sistematis.

Kota Gorontalo sebagai Ibu Kota Provinsi Gorontalo yang secara resmi ditetapkan pada 16 Februari 2001 berdasarkan undang-undang No. 38 Tahun 2000 Pasal 7 dikenal bermayoritas Muslim dengan jumlah 97,12 persen. Selebihnya ada Kristen Protestan 2,03, Katolik 0,30, Budha 0,47 dan Hindu 0.70.

Keragaman beragama ini menjadi patokan saya dalam menuangkan gagasan untuk kebermaknaan Serambi Madinah, tepatnya upaya mengaktifkan kembali semangat ber-Pancasila—yang kebetulan 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016, diikuti pengembangan literasi sebagai optimalisasi pendidikan yang efektif dan membumisasikan al-Qur’an sebagai optimalisasi aspek keagamaan dan.

Selebihnya, saya tidak punya kompetensi untuk berbicara, seperti pertumbuhan ekonomi, politik, infrastruktur dan lain sebagainya.

Merawat Pancasila

Kehadiran Islam di Gorontalo membuktikan bahwa ruang dialogis dengan unsur lokal terjadi tanpa pergesekan dan pertumpahan darah. Menyatunya masyarakat Gorontalo dengan segala ciptaan-Nya pra-Islam, memudahkan para auliya membumisasikan seluruh ajaran agama dengan penuh damai.

Tentunya, kaidah dasar utama yang digunakan para auliya dan ulama-ulama di seantero Indonesia dalam menyebarkan ajaran Islam adalah “mâ ta’ârafahu al-Nâsh wa sârû ‘alaihi min qaulin au fi’lin au tarkin” (sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan mereka mengikutinya, baik berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu).

Kaidah klasik itu membuat para auliya dalam menyebarkan Islam di Gorontalo tinggal menempelkan stempel yang baru kepada yang lama, tanpa perlu ‘merenovasi’ ragam ‘urf (budaya atau adat). Jikalau pun ada, maka perenovasian itu tidak membutuhkan energi yang banyak.

Tentunya ini berbeda dengan Islamisasi di pulau Jawa dan sekitarnya yang membutuhkan ragam metode dakwah. Maka dapat dipastikan, referensi klasik dan modern terkait Islamisasi di Gorontalo terpusatkan pada dua aspek; yang terislamisasi akan mendapat legitimasi syariatnya, yang kemudian dilegalkan secara akomodatif dan menegasikannya dengan menggunakan prinsip peniadaan melalui larangan.

Dengan menggunakan paradigma ini, konsensus itu mudah diterima sebagai sebuah filosofis, juga sematan Serambi Madinah menjadi rasional jika indikatornya hanyalah infrastruktur yang bernuansa Islami dan sebutan semisal Boalemo Damai Bertasbih dan Pohuwato Madani.

Namun seiring waktu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa seperangkat nilai, khususnya yang ada di Kota Gorontalo, akan tetap bertahan. Di belahan daerah-daerah lainnya, merosotnya pengamalan Pancasila di segala sektor, bahkan terjadi degradasi pemaknaan di tubuh pemerintahan sendiri, menjadi kegelisahan saya pribadi. Jika mau diibaratkan,

Pancasila kini dianggap sakral layaknya kitab suci yang bercover indah. Para pakar bercetus, “ingin dibuang takut kualat, ingin dipakai tak lagi terbaca”.

Di tengah-tengah paradigma berpikir yang serba saling membenturkan, Pancasila sebagai titik temu atas pelbagai problematika kehidupan, belakangan ini mengalami krisis serius. Hasil riset-riset menyatakan bahwa dukungan atas Pancasila mengalami penurunan sampai 10 persen lebih (periode 2015-2018).

Kongkritnya, penolakan Pancasila menuju angka 15,5 persen di kalangan profesional, 16,8 persen di kalangan mahasiswa, 18,6 di kalangan pelajar dan 19,4 persen di kalangan ASN (Lih. Alvara Research Center, 2017).

Bapak Walikota yang diberikan amanah sebagai pemimpin, tentunya memiliki kewajiban untuk mempertahankan Pancasila. Solusinya satu, Pancasila harus dibumikan secara efektif. Mengutip perkataan John Gardner, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu.

Dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak mengandung dimensi nilai moral guna menopang peradaban besar.” Artinya, Pancasila harus dijadikan nilai dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tentunya, kita tidak menginginkan Pancasila hanyalah hafalan di bangku-bangku kelas dan nyayian anak sekolahan. Melainkan membudayakan Pancasila di segala lini dan lembaga-lembaga, utamanya lembaga dan komunitas yang bapak pimpin. Pancasila tidak lagi sekedar diseminarkan, tapi harus diteladankan oleh setiap pejabat dan bawahan serta komunitas-komunitas yang ada di Gorontalo.

Di Gorontalo harus dipastikan bahwa keragamaan yang dibalut oleh konsep toleransi dan sistem demokrasi, membuat setiap warga sebebas-bebasnya mendangkalkan hakikat Pancasila. Tak bisa dipungkiri, pengertian parsial faktor eksternal berupa pengacauan pemahaman akan korelasi Pancasila dan Islam telah merebak, hingga ke kalangan terdidik seperti mahasiswa.

Sebagai pendebat di kampus-kampus, berkenaan dengan topik “ideologi negara”, tak jarang mendapatkan pertanyaan yang mengarah pada ketidakpercayaan Pancasila beserta derivasinya. Maka konsep membangun substansialisme inklusif menjadi kewajiban di seluruh ruang pemerintahan dan institusi di bawahnya.

Jangan sampai, masing-masing di antara kita percaya kepada masyarakat tanpa kewaspadaan merebaknya faham anti-Pancasila. Bapak Walikota bisa membaca secara utuh, buku yang saya berikan berjudul “HTI: Gagal Paham Khilafah”.

Kekhawatiran saya masih terus berlangsung dan tidak mungkin ada di Gorontalo faham-faham yang ingin memformalkan agama. Kebutuhan merealisasikan Pancasila guna menjawab bahwa Pancasila menjadi titik temu dari semua persoalan bangsa dan daerah yang ada.

“Pancasila bukan agama, tetapi tidak bertentangan dengan agama. Pancasila bukan jalan, tetapi titik temu antara banyak perbedaan jalan. Beda agama, suku, budaya dan bahasa. Hanya Pancasila yang bisa menyatukan perbedaan tersebut,” ujar KH. Hasyim Muzadi.

Tanpa implementasi dan ejawantah yang baik, Pancasila sebagai keyakinan dan ideologi Negara Indonesia akan mengalami penurunan. Faktor penting dari sebuah penurunan adalah adanya kesenjangan antara idealita Pancasila dengna realitas kehidupan berwarga, bermasyarakat dan bernegara.

Tapi, kita tahu secara persis, alih-alih membumisasikan, perbincangan di warkop-warkop, kedai kopi, kampus-kampus dan tempat manapun, tidak lagi membicarakan dan menggali Pancasila. Mungkin bisa jadi, “Pancasila sudah harga mati”.

Maka saat itu pula, masyarakat dan warga tidak dirancang untuk mengaktifkan akal sehatnya untuk membedah Pancasila. Anggapannya sederhana, sudah final. Maka tidak lagi terjadi diskursus berkesinambungan.

Ditambah suasana bernegara saat ini, di mana Pancasila tidak lagi menjadi pelajaran wajib di kebanyakan sekolah, apalagi sekolah-sekolah swasta. Lebih parahnya, tidak semua sekolah menampilkan pajangan strutktur kelima Pancasila beserta pemimpin negara.

Jika hal-hal sepele tidak dipantau secara baik, maka akan menjadi ruang pengisian untuk kelompok-kelompok yang merongrong dari sisi eksternal maupun internal. Di ruang yang berbeda lagi, program bina ideologi bangsa hanya bersifat superfisial dan kompartementalis tanpa mengedepankan kejelasan arah yang sistematis dan terukur.

Jikalau ini dilanjutkan terus menerus, maka data BPS 2015 yang mengatakan dari 100 orang Indonesia, ada 18 orang yang tidak tahu judul lagu kebangsaannya; sekitar 53 persen orang Indonesia tidak hafal seluruh liriknya; dari 100 orang Indonesia ada 24 orang yang tidak hafal sila Pancasila.

Maka satu hari sebelum bapak dilantik kembali menjadi Walikota Kota Gorontalo, bertepatan pada 1 Juni 2019 sebagai Hari Lahir(nya) Pancasila, ada program yang jelas dalam membumisasikan kembali Pancasila di Gorontalo.

Bisa jadi, semua data di atas, ada di dalamnya rakyat Gorontalo. Dengan diperbantukan oleh staf-staf yang expert dan bawahan yang memiliki kapabilitas dan kualitas mumpuni, bapak bisa merancang dari internal pemerintah sampai sekolah-sekolah, kampus-kampus.

Bapak harus bekerjasama dengan seluruh “civil society”, komunitas-komunitas dan institusi lainnya. Bagi saya, hilangnya pemaknaan, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi sebab utama kemerosotan di mana-mana, khususnya umat Islam.

Optimalisasi Budaya (ber)Literasi

Saat bapak Walikota diberikan panggung untuk berbicara pada event Internasional Symposium on Open and Distance Education and e-Learning (ISODEL) di Grand Ballrom The Stones Hotel Legian, Bali, pada tanggal 3-5 Desember 2018 dengan tema “Digital Education Transformation”, saya sebagai anak Gorontalo bangga, tapi disisi lain menaruh harapan di luar program-program unggulan yang menjadi komitmen harus ditambah dengan program literasi sebagai pengamalan akan firman Allah yang pertama.

Dalil normatif membaca adalah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal daerah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dari pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (Qs. Al-‘Alaq [96]: 1-5). Sedangkan dalil normatif menulis adalah “Demi pena dan apa yang mereka tulis” (Qs. Al-Qalam [68]: 1).

Data Pusat Penelitian Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Puspendik Kemendikbud) menyebutkan bahwa rendahnya kompetensi literasi (membaca) di Gorontalo.

Saya berharap, literasi yang terfokus pada membaca-menulis harus dirawat dan diformulasikan secara baik di Kota Gorontalo. Banyak pakar-pakar di Gorontalo yang bisa merumuskannya. Tapi, menulis bukan soal mengutarakan ragam dalil, tapi keteladanan dari semua unsur lapisan.

Sekolah-sekolah dan wadah pendidikan yang dibantu oleh pemerintah harus disisipi program literasi yang berkelanjutan. Literasi membaca-menulis akan berjalan manakala setiap sekolah itu terwadahi buku-bukunya dengan ragam genre. Setiap kelas di data secara menyeluruh oleh pihak sekolah minat bacaan siswa-siswi. Dari situlah kita bisa mengetahui buku apa yang perlu distok di perpustakaan.

Pertama, mewajibkan siswa-siswinya membaca 10 menitan (bisa lebih) sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai.

Kedua, guru-guru harus meneladankan dengan presentasi hasil bacaannya, yang dilakukan sebelum mengajar. Disini guru harus dituntut untuk memberikan keteladanan.

Ketiga, seminggu sekali atau sebulan sekali, kepala sekolah mengumpulkan seluruh guru dan mengacak guru-guru untuk presentasi di depan dan terakhir, kepala sekolah pun mempresentasikan buku hasil bacaannya selama seminggu.

Keempat, sekolah minimal tiga kali mengadakan festival literasi dalam setiap semester. Mulai lomba menulis, membaca cepat, membuat puisi, membuat dongeng, membuar cerita kartun dan ragam lomba lainnya. Kelima, pemerintah menugaskan Dinas Pendidikan untuk mengadakan lomba rutin antar sekolah tentang literasi.

Untuk di ruang publik, pemerintah kota harus menggandeng para pegiat literasi untuk setiap minggunya mengadakan perpustakaan berjalan. Di wilayah-wilayah yang ramai saat weekend (akhir pekan), disanalah perpustakaan berjalan menggelar tikar dan mengajak orang-orang yang lewat untuk mampir membaca. Menggandeng pula para mahasiswa-mahasiswi yang aktif dan gemar berliterasi.

Mereka-mereka yang saya jumpai banyak sekali. Tapi mereka adalah para pegiat yang bekerja saling terpisah dan tidak sistematis. Maka harus ada wadah yang mempersatukan di tengah perbedaan payung yang mereka gunakan.

Penting pula, sahabat-sahabat saya yang gemar berliterasi, umumnya mereka yang tidak mau diajak kerjasama dengan baju kepartaian apapun. Disini kesempatan Bpk. Walikota untuk menggandeng mereka dengan baju pemerintah.

Para pegiat literasi adalah mereka-mereka yang “mukhlis”, mereka hidup dalam kesederhanaan tapi mereka tidak mau menampakkan itu semua. Bahkan suatu hari, seluruh sahabat saya pegiat literasi ditawari oleh salah satu partai, tapi mereka tak satupun yang menyanggupi di depan saya.

Artinya, mereka betul-betul pegiat literasi yang murni ingin membudayakan literasi. Semangat dan spirit ini perlu ditangkap oleh Bpk. Walikota untuk meningkatkan budaya membaca-menulis di Serambi Madinah.

Saya, termasuk penulis yang cukup menggunakan dua tehnik. Dalam hal membaca, saya menggunakan “speed and summary reading” dan dalam menulis saya menggunakan tehnik “free writing”.

Tehnik “speed reading” dibutuhkan di era kini, sebab informasi begitu cepat bergulir dan berganti. Sajian-sajian di semua perspektif dalam sehari bisa saling menumpuk. Tehnik ini membantu percepatan meng-“update” informasi ke dalam otak.

Otak memiliki kemampuan mencerna yang luar biasa, baik anak-anak maupun dewasa. Dari mereka yang IQ rendah sampai IQ tinggi. Semua pembaca cukup memenuhi persyaratan: rileks dan tidak tegang, kenali betul materi yang ingin dibaca, kenali ide pokok-pokoknya dan menghindari upaya gerakan apapun kecuali mata.

Bagi saya sederhana, otak jangan dipaksa untuk memahami seluruh teks yang dibaca. Sebab, bisa jadi apa-apa yang kita tidak pahami di satu buku akan kita temui dan pahami di buku yang lain, dengan jenis dan topik yang sama.

Di luar itu semuanya, diperlukan terlebih dahulu budaya membaca. Mengerti dan tidak mengerti, membaca buku saja. Penambahan tugas dalam merancang budaya berliterasi di Kota Gorontalo dan Gorontalo umumnya menjadi bagian dari optimalisasi pendidikan.

Literasi Qur’aniyah

Bapak Walikota yang saya hormati. Terakhir, salah satu tonggak efektifnya filosofi Serambi Madinah adalah banyaknya penghafal al-Qur’an. Bapak bisa merancang di awal-awal adalah “satu kecamatan, satu penghafal”, sebelum berangjak kepada “satu desa, satu penghafal”. Membuat anak-anak menghafal al-Qur’an dan mengirimkan mereka ke Jawa dan daerah yang memproduksi penghafal al-Qur’an, tidaklah memakan anggaran yang begitu banyak.

Pengalaman pribadi saya, saya hanya membutuhkan waktu setahun untuk menghafal al-Qur’an di Jakarta. Tepat pada umur delapan, dan tepat pada umur sembilan tahun, saya sudah menuntaskan seluruh isi al-Qur’an beserta sanad atau ijazah umum dan khususnya. Tapi, yang penting adalah memproduksi penghafal al-Qur’an bukan saja dalam rangka menyetok untuk diperlombakan dalam ajang Musabaqah Tilawatil Qur’an. Bekalangan ini memiliki kecenderungan demikian. Yang menurut saya, tidak efektif membentuk budaya Qur’aniyah di Serambi Madinah.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada MTQ-erisme (para petanding di ajang MTQ) dan para pembinanya. Saya berharap, mewujudkan literasi Qur’aniyah bukan itu tujuan utamanya. Mengapa? Jika itu tujuan maka tidak akan lahir generasi muda yang expert di bidang Qur’an.

Sebab para petanding itu dari berbagai jurusan. Yang ada dalam benak saya adalah harapan kepada Bpk. Walikota untuk merancang generasi muda kedepan untuk menyetok anak-anak Gorontalo yang betul-betul ahli di bidang Tafsir Qur’an dan derivasinya.

Terlebih saat ini di Jawa, banyak sekali Pondok Pesantren yang di pesantren tahfiznya ada sekolah umumnya. Jika ada keseriusan dari masing-masing anak dan bantuan moral-moril dari pemerintah, mereka paling lama tiga tahun sudah tuntas al-Qur’annya.

Ini merupakan harapan besar saya yang selalu gagal di tengah jalan. Sebab, keterbatasan finansial membuat saya tidak bisa mensupport mereka secara totalitas. Akhirnya, banyak yang mundur di tengah jalan. Beginilah pak Walikota, tantangan anak sekarang yang ingin sukses tapi tidak mau hidup dalam kesederhanaan. Tentnunya, berbeda dengan masa-masa kami kecil dahulu.

Sewaktu menghafal al-Qur’an, saya hanya menghabiskan uang 30.000 setiap bulannya. Sebab, semakin banyak jajan dan makan-makan di luar pesantren, sangat berpengaruh pada proses menghafal.

Saat bapak Walikota mulai merancang program ini. Saya kembali berharap, agar betul-betul menempatkan anak-anak yang ingin dijadikan penghafal al-Qur’an di pesantren yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah. Ini penting, guna mereka kembali ke daerah untuk mengisi kekosongan di sana-sini, jangan sampai menjadi batu sandung untuk daerah itu sendiri.

Saya tidak perlu menyebutkan pesantren apa yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah atau tidak. Di sekeliling bapak, ada banyak jawaban lahir. Pasca era reformasi, pesantren tidak semuanya berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah dan mengakui Pancasila sebagai ideologi negara.

Lagi-lagi, sebagai anak Gorontalo yang telah mengelilingi Indonesia, dari kampus ke kampus, dari pesantren ke pesantren, tentunya apa-apa yang diatas bukan tanpa data dan argumentasi.

Kiranya, itu yang menjadi harapan dari saya. Saya memohon maaf, bila harapan dan surat “cinta” ini justru membuat bapak tambah kerjaan. Tapi, bapak adalah pemimpin dan kami adalah warga bapak. Dan kiranya dibukakan pintu maaf, bila ada kata dan sajian yang tidak berkenan. Wallâhu a’lam bi al-Shawâb.###

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan