Pilkada Kita: Memoles Citra dan Kemunculan Para ‘Pengumpat’

oleh
Pilkada
banner 468x60
‘Hawa panas’ politik Pilkada mulai terasa. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baru akan digelar 9 Desember secara serentak di 270 daerah di Indonesia, (termasuk 3 daerah di Gorontalo). Suhu politik mulai terasa panas di awal tahapan yang ditetapkan KPU sebagai penyelenggara.

Di lokal Gorontalo sudah ada para kandidat siap berebut kursi eksekutif di tiga daerah; 4 pasang bakal calon di Bone Bolango; 4 pasang lagi di Kabupaten Gorontalo; dan di kabupaten Pohuwato juga ada 4 pasang bakal calon siap berlaga.

Pilkada di tengah pandemi, penyelenggara telah menyiapkan berbagai alternatif dan solusi sebagai ikhtiar menghindari jumlah orang yang terinfeksi.

Di beberapa tahapan krusial, KPU telah menerapkan protokol kesehatan yang ketat terutama pada fase verifikasi faktual, hingga dialog dengan jumlah massa yang dibatasi dan kampanye melalui pemanfaatan sarana ber-platform digital.

Pemanfaatan sarana digital, terlebih media sosial, menjadi wahana bagi proses demokrasi sekaligus arena “perang” antar pendukung.

Karena ada ‘perintah’ social distancing, tak boleh ada kerumunan (penerapan Prokes) yang terintegrasi menjadi bagian dari ‘aturan main’ di Pilkada, menjadi alasan yang akan menggiring para kandidat, tim sukses hingga pendukung, melakukan “perang” di media sosial.

Media sosial pun seketika menjadi ladang untuk mencari keuntungan politis, melemahkan kekuatan lawan dengan cara perundungan.

Pilkada memang belum masuk tahap kampanye. Tapi benih-benih “perang terbuka” di media digital mulai nampak.

Friksi mulai terjadi bukan hanya di kalangan politisi tapi juga netizen yang menjadi pendukung. Media sosial akan dipenuhi tuding-menuding, umpatan sarkastik dan munculnya narasi-narasi bernada provokatif.

Bagi yang merasa pintar, sedapat mungkin umpatan itu akan dikemas dalam bentuk satire agar tak memunculkan delik, menghindari jeratan UU ITE.

Bila yang menjadi lawan adalah Petahana, maka program yang belum tuntas bisa dengan segera digulirkan sebagai instrument pembentuk opini ‘gagalnya sang Petahana’.

Pada akhirnya, perilaku orang-orang (dengan berbagai karakter) yang berjibaku di media sosial bisa menjadi penentu dinamika yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menjatuhkan pilihan.

Dinamika destruktif dan segala fenomena yang bisa merusak keadilan berdemokrasi, yang diprediksi berseliweran di media sosial dan media berplatform digital lainnya, harus dapat diredam dengan pengawasan ketat Bawaslu melalui kerja-kerja ekstra, disamping mengawasi aktivitas para kandidat yang memberi ruang bagi perebakan COVID-19.

Sementara KPU sebagai penyelenggara, tetap dituntut secara masif mensosialisasikan regulasi terutama regulasi yang telah beradaptasi dengan pandemi.

Setiap kandidat yang punya tim pemenangan, bukan hanya sekedar melek politik. Tapi juga melek terhadap norma-norma demokrasi yang dianut di negeri ini.

Mencari tema kampanye yang lebih sehat dan tidak menjatuhkan, bisa menjadi poin plus di mata publik. Sampaikan kepada publik, bahwa calon pemimpin yang dijagokan dalam Pilkada, bisa menjadi teladan.

Adalah pilihan yang sangat bijaksana ketika ada pasangan calon yang memilih dan bersikap untuk tidak menjelek-jelekan pasangan calon lainnya.

Pesta demokrasi memang tak bisa lepas dari fenomena friksi antar komponen. Tapi untuk menjaga agar demokrasi tetap pada rel substanialnya, maka peran penyelenggara dan pengawas perlu ditunjang seluruh komponen masyarakat yang menjunjung tinggi nilai dan hakekat demokrasi.***

Penulis: Dwi Manoppo, 5 September 2020

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan