Ada Apa di Balik Pertemuan Ketua-Ketua Partai Gorontalo?

oleh -34 Dilihat
oleh
partai
Foto Istimewa.

HABARI.ID, POLITIK I Pertemuan ketua-ketua partai politik se Gorontalo perlu diapresiasi. Pertemuan ini berlangsung berkat inisiatif Elnino Mohi, Ketua Partai Gerindra Gorontalo.

Sebagai orang yang dianggap berada di “tengah”, Elnino dipercaya bisa memediasi pertemuan ini. Hampir sebagian besar ketua partai hadir. Terlihat ada niat baik untuk memulai diskusi untuk memikirkan Gorontalo secara bersama-sama.

banner 468x60

Sebelum pertemuan semalam, kita tentu tidak bisa menafikan jika selama ini ada banyak ketegangan di antara pucuk elit Gorontalo. Apakah itu antara Rahmat Gobel (RG) vs Rusli Habibie (RH) atau Fadel Muhammad (FM) vs Rusli Habibie.

Dalam posisi sebagai Gubernur, wajar jika RH banyak mendapat kritikan dan protes dari elit-elit tersebut, sebab jika bukan memegang tampuk eksekutif mungkin dia tidak akan mendapatkan kritikan tersebut.

Dalam ketegangan itu, ada ketua-ketua partai yang terlibat dan ada yang netral. Tapi selebihnya, jika dikerucutkan, ketegangan RH vs RG diasosiasikan ketegangan Golkar dan Nasdem.

Tetapi, pertemuan semalam yang juga dihadiri RH dan Hamim Pou, Ketua Partai Nasdem, membuka kemungkinan proses dialog untuk menjembatani ketegangan itu.

Secara sederhana, inisiatif pertemuan ketua partai politik semalam adalah ikhtiar, untuk mengurangi ketegangan di antara elit partai.

Ikhtiar tersebut untuk mengurangi eskalasi konflik yang sementara terjadi dan kemungkinan akan terjadi.

Secara teoritik, makna konflik adalah karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan antara individu yang satu dengan individu yang lain, atau kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

Di antara perbedaan kepentingan itu adalah perbedaan kepentingan politik, sehingga disebut juga sebagai konflik politik.

Ada tiga macam konflik politik. Pertama, konflik politik karena memperebutkan jabatan-jabatan politik atau kekuasaan. Kedua, konflik politik karena kebijakan-kebijakan politik.

Ketiga, konflik politik muncul karena perbedaan pandangan terhadap lembaga-lembaga politik. Pada tiga kategori tersebut, maka perlu dilihat secara detail apa maksud lebih mendalam dari pertemuan tersebut.

Sebab, yang diperlukan dari partai politik adalah memformulasikan aspirasi rakyat (konstituen) menjadi kebijakan publik yang akan diterjemahkan eksekutif dalam program dan kegiatan.

Jika pertemuan semalam adalah untuk menyamakan persepsi dalam merumuskan kebijakan, dalam hal ini secara detail untuk mengurangi angka kemiskinan, mengurangi angka pengangguran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga hal-hal yang menjadi masalah dasar Gorontalo, maka hal tersebut perlu diapresiasi sekaligus bisa dikritisi.

Mengapa harus dikritisi? Sebab, ketua-ketua partai yang hadir semalam adalah yang memiliki wakil di parlemen, yang tidak semua masuk dalam pihak oposisi terhadap eksekutif.

Jangan sampai, yang dibangun adalah kesepakatan untuk harmoni yang seragam (yes bos), bukan kesepakatan untuk terus kritis terhadap seluruh kebijakan.

Sebab, kultur Gorontalo, jika sudah terjadi “dudu-dula”, “dulohupa”, dan pada akhirnya “ma hi’iyoma” maka sikap kritis akan sulit terjadi.

Namun, saya kira pertemuan semalam mestinya diarahkan sebagai agenda konsolidasi politik dan komunikasi awal sebelum Penjabat Gubernur yang baru hadir di Gorontalo pada 12 Mei nanti, dimana Pj Gubernur bukan berasal dari partai politik yang hadir semalam, karena status birokrat dari pusat.

Kemungkinan besar, pertemuan ini adalah semacam agenda konsolidasi menghadapi kehadiran Pj Gubernur yang non partai politik.

Jika agenda itu diajukan, saya kira sah-sah saja dan bahkan perlu diapresiasi, sebab Pj. Gubernur akan “berada” di Gorontalo selama lebih dari 30 bulan atau 2 kali APBD, sehingga hal ini perlu pengawasan lebih detail.

Karena itu, silaturrahmi tidak bisa dipandang sebagai niat baik saja, tapi perlu diperiksa lagi secara mendalam, apakah silaturrahmi dalam konteks membangun kesepahaman untuk membangun Gorontalo menjadi lebih baik tanpa meninggalkan sikap kritis atau silaturrahmi yang ujungnya adalah agenda rekonsoliasi atas konflik, dan tujuannya hanya untuk “power sharing” semata, bukan untuk kemaslahatan.(bnk/habari.id).

Baca berita kami lainnya di


Tinggalkan Balasan