Hari ini tepat 8 hari (11/5) pelaksanaan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) di wilayah Provinsi Gorontalo. Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dikeluarkan untuk menjaga keselamatan masyarakat, yaitu mencegah penularan dan penyebaran wabah COVID 19. Sejalan dengan postulat Salus Populi Suprema Lex Esto.
Terlepas dari niat baik (good feit) pemeritah. Di lain sisi, pembatasan-pembatasan ruang gerak dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
PSBB Gorontalo yang telah menyebutkan larangan beraktivitas pada jam-jam tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip HAM (Baca: ICCPR, IESCR dan DUHAM ).
Bahkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 27 ayat 1 telah secara jelas menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kurang lebih demikian isi dari pemberitaan media yang Penulis tangkap.
Pertanyaannya, apakah betul pembatasan jam beraktivitas dalam PSBB Provinsi Gorontalo melanggar HAM? Apakah HAM tidak bisa dikurangi oleh negara dalam keadaan apapun?.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Penulis ingin memperlihat beberapa daerah di Indonesia yang menerapkan pembatasan jam beraktivitas.
Pertama, pembatasan jam berakivitas di Kota Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Pembatasan aktivitas berlaku mulai pukul 21.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB. Adapun warga yang boleh keluar hanya warga yang ada hubungannya dengan kesehatan dan kedaruratan.
Kedua, pembatasan beraktivitas di Banjarmasin. Pemberlakuan PSBB Banjarmasin mulai diterapkan pada tanggal 24/4/2020. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID 19 Banjarmasin menyatakan petugas gabungan akan rutin patroli mulai Pukul 21.00 WITA hingga 06.00 WITA (Kompas, 23 April 2020).
Ketiga, pembatasan jam beraktivitas di Pekanbaru/Riau. PSBB Pekanbaru mengatur tentang aktvitas warga selama 24 jam berturut-turut setelah PSBB diberlakukan.
Adapun pembatasan warga nantinya tidak boleh beraktivitas di luar rumah mulai pukul 20.00 WIB hingga pukul 05.00 WIB.
Keempat, pembatasan jam beraktivitas di Kabupaten Gowa. Pemerintah Kabupaten Gowa bersama petugas gabungan melakukan patroli jam malam saat pemberlakukan PSBB.
Jam malam berupa pembatasan beraktivitas warga masyarakat di mulai dari pukul 21.00 WITA hingga pukul 06.00 WITA
Dari beberapa penerapan pembatasan jam beraktivitas di sejumlah daerah di atas, maka bila dibenturkan dengan Pasal 27 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999.
Apakah bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Indonesia? Ataukah ada yang keliru dalam memaknai Hak Asasi Manusia?
Pemaknaan HAM
Bagi mahasiswa semester 2 (dua) Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo yang mengambil Mata Kuliah Hukum dan HAM, tentu sudah sangat familiar dengan istilah non derogable rigths dan derogable rights.
Hak Asasi Manusia yang tergolong non derogable rigths adalah HAM yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun.
Adapun HAM yang tergolong non derogable rigths termaktub dalam konstitusi. Pasal 28I ayat 1 UUD NKRI 1945 menyatakan;
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Selain konstitusi, HAM yang tergolong non derogable rigths dipertegas lagi dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun dan oleh siapapun (Vide: Pasal 4).
Pertanyaannya bagaimana dengan hak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia (Vide: Pasal 27 ayat 1).
Dihubungkan dengan pembatasan jam beraktivitas selama pelaksanaan PSBB ? Bila mengacu kepada penggolongan HAM, maka hak untuk secara bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal termasuk kategori derogable rights.
State of Emergency
HAM yang tergolong derogable rights adalah Hak Asasi Manusia yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu.
Artinya bahwa selain HAM yang tergolong non derogable rigths bisa dilakukan pembatasan dalam keadaan tertentu.
Maksud dalam keadaan tertentu, bisa kita temukan dalam Article 4 ICCPR yang telah disahkan menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005.
“In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin”.
Diterjemahkan bahwa; “Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan negara dan keberadaannya yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak pada Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini …,
sejauh yang benar-benar dibutuhan dalam situasi tersebut, asalkan langkah termaksud tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban mereka lainnya yang diatur oleh hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi yang semata-mata berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa atau asasl-usul sosial”.
Berdasarkan Pasal 4 ICCPR di atas, memberikan legalitas kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia jika negara dalam keadaan darurat (state of emergency).
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pembatasan jam beraktivitas dalam rangka pelaksanaan PSBB tidaklah melanggar HAM. Sebab Indonesia berada dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat, terkonfirmasi dari terbitnya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020.
Sebagai penutup saya ingin mengutip pernyataan Beni Prasad (2002), bahwa Dalam keadaan yang bersifat darurat, pemerintah dianggap dapat melakukan tindakan apa saja.
Pembenaran mengenai hal ini didasarkan atas pengertian bahwa suatu keadaan yang tidak normal mempunyai sistem norma hukum dan etikanya tersendiri, atau keadaan yang disebutkan Appaddharma yang berarti keadaan krisis yang sangat mengerikan.
Dalam keadaan kacau tersebut, semua aturan moralitas yang biasa berlaku dalam keadaan normal dapat ditunda berlakunya.***