SEMALAM saya ngobrol dengan sopir taksi, saya tanya bagaimana sikapnya soal Covid-19 yang kini menghebohkan. Ia hanya menjawab santai, katanya soal hidup dan mati itu urusan Allah. Jika Jakarta atau Indonesia lockdown, dia tak bisa membayangkan bagaimana nanti anak istrinya di rumah. Sebab, dia harus kerja tiap hari, jika tidak dapur tak akan berasap.
Kondisi ini mungkin mewakili sebagian besar warga Indonesia jika seandainya terjadi lockdown. Soal menghindari virus, mereka tentu akan setuju. Namun, jika dipaksa untuk terus berada di rumah dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan, mereka pasti tidak mau.
Alasannya sederhana, bagaimana mereka bisa memberi makan anak istri di rumah. Sebab pekerjaan mereka adalah pekerjaan yang “bergaji” harian.
Jika tak kerja sehari, dapur tak akan mengepul asapnya. Di antara warga itu ada yang bekerja sebagai sopir taksi, buruh bangunan, tukang ojek online, buruh angkut, nelayan, pekerja di pasar, tukang becak dan banyak jenis pekerjaan lainnya.
Mereka yang memiliki profesi diatas adalah yang pendapatannya berdasar pada “jumlah keringat” harian yang menetes. Tanpa itu, tak ada yang disebut “basic income”. Mereka yang bekerja dengan upah harian pasti sulit jika ada kebijakan lockdown.
Soal ini, bisa disiasati dengan kebijakan stimulus basic income. Bisa saja dengan cara cash untuk kalangan pekerja yang berupah rendah.
Dibandingkan stimulus pada sektor infrastruktur atau padat karya yang lambat berpengaruh, atau stimulus pajak/moneter, mendingan digunakan untuk stimulus kebijakan basic income. Hal lain yang akan sulit adalah mengenai konsumsi rumah tangga harian jika misalnya lockdown.
Silahkan dihitung jika banyak rumah tangga kehabisan gas (apalagi yang menggunakan gas tiga kilogram), bagaimana jika kehabisan pulsa listrik, kehabisan pulsa dan paket data, dan hingga kehabisan pangan.
Apalagi jika jangka waktu lockdown tidak ditentukan batas waktunya. Rumah tangga di Indonesia masih banyak yang memiliki ketergantungan serius pada empat hal itu.
Mereka bukan kelas menengah yang memiliki uang lebih untuk membeli pulsa listrik dengan jumlah yang banyak, pulsa telepon dan paket data bulanan dengan jumlah diatas 10 gigabyte.
Mereka tak punya kemampuan membeli gas 12 kilogram, mereka juga tak punya kemampuan untuk menumpuk bahan makanan selama dua minggu atau lebih. Apalagi kemampuan keuangan keluarga hanya mampu bertahan untuk satu dan dua hari.
Dengan lockdown, tentunya waktu untuk berada di dalam rumah akan semakin banyak, dan tentunya akan menguras energi lebih banyak dibanding hari lainnya.
Apalagi bagi kalangan remaja yang terbiasa berhadapan dengan handphone, pasti aktifitas selama lockdown hanya tertuju pada handphone, hingga akan banyak memakan pulsa telepon dan paket data. Sungguh suasana yang sulit diterima.
Hal itu baru perkiraan soal bagaimana rumah tangga bisa menyesuaikan dalam kondisi lockdown. Belum dengan banyak faktor-faktor diluar hal primer diatas.
Tetapi, membiarkan daerah atau negara tanpa lockdown, dengan penyebaran Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang sangat cepat, maka pilihan-pilihan akan sangat dilematis.
Dalam situasi terburuk nanti, tentunya akan semakin banyak yang harus dirawat secara intensif di rumah sakit. Kita tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk penanganan ini seperti rasio jumlah tempat tidur per 1000 penduduk, jumlah ruang isolasi, jumlah dokter, perawat dan tentunya obat-obatan.
Oleh sebab itu, penanganan ini mesti segera dilakukan secara cepat, dalam artian bahwa selain pemerintah bekerja, pelibatan masyarakat sangat penting. Sebab instrumen negara sangat terbatas dalam skenario terburuk nanti.
Satu hal yang cukup manjur adalah “social distancing”, model ini jika bisa dilakukan sscara kolektif tentu bisa menahan laju penyebaran.
Memang fatality rate sangat kecil dibandingkan dengan jumlah kasus yang terdata, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa sekecil apapun jumlah itu, informasinya membuat shock banyak orang.
Pemerintah perlu membuat “contigency plan” yang lebih detail, terdesentralisasi, dan massif. Kepres No. 7 Tahun 2020 yang dirilis tanggal 14 Maret 2020 adalah hal yang patut diapresiasi walaupun dirasa agak terlambat.
Dalam isi Keppres tersebut masih banyak yang kurang detail dalam petunjuk pelaksanaan. Termasuk bagaimana penganggaran untuk penanganan dan pembentukan gugus tugas secara teknis.
Bagaimana model penganggaran dan mekanisme pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam hal ini, perlu ditegaskan secara cepat, agar sebelum Senin 16 Maret 2020, seluruh Pemda sudah bisa bergerak cepat.
Kita sekalian tentunya berharap agar pandemi ini bisa segera diatasi sambil kiranya semua warga bangsa turut aktif dalam membantu penanganan kasus ini.
Dalam titik ini, nasionalisme bangsa ini diketuk, setelah sekian lama bangsa terbelah dalam berbagai macam isu dan provokasi, kini saatnya kesatuan dalam berbangsa dan bernegara diuji, mampukah kita bisa melewati tahap ini dengan penuh hikmah, atau malah hanya akan membawa kita ke palung kebencian dan saling menyalahkan lagi.***
Funco Tanipu, Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Univeristas Negeri Gorontalo