Hilangnya Keagungan Ramadan

oleh
ramadan
Ilustrasi(f/FT).
banner 468x60
HABARI.ID I Ramadan kembali menyapa kita dengan segala perhiasannya. Bagai seorang perempuan, Ramadan tampak anggun dan suci. Ramadan cermin dari sebuah cahaya yang menyinari jiwa yang membutuhkan cahaya. Hanya jiwa yang suci yang dapat diterangi cahaya itu.
Dalam Ramadan berisi deretan ritus persembahan bagi yang merasa harus menyembah. Salah satu aktifitas itu adalah puasa. Bukan saja untuk menahan haus dan lapar, tetapi lebih dari pada itu puasa untuk mengupas kerak dalam hati yang telah berkarat.
Puasa adalah aktifitas hampir seluruh agama di dunia ini. Praktik puasa dilakukan oleh beberapa tokoh dunia di luar Islam, misalnya Mahatma Gandhi.
Gandhi selalu menekankan pentingnya puasa dan doa untuk meningkatkan kehidupan spiritualnya, mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri, mencari kebenaran dan menjumpai Tuhan (Kautsar Azhari Noer, 2008).
Bagi kita di Gorontalo, puasa Ramadan adalah ritual yang begitu luhur. Sebelum memasuki Ramadan, ada tradisi yimelu (mohimeluwa) artinya saling menyapa, atau mungkin saling memaafkan atas setiap kesalahan.
Selain itu, ada pula ritual molihu lo limu, yakni aktifitas memandikan tubuh dengan limu tutu, dengan harapan “ahali jamootola limo lo wakutu” (tidak meninggalkan sholat lima waktu). Kesemuanya dimaksudkan untuk menyambut bulan yang suci, agar ritual penyucian diri semakin lancar.
Leluhur kita sengaja menciptakan ritual simbolik tersebut untuk mengingatkan setiap masa agar senantiasa menyambut Ramadan dengan suci. Ritual diatas diciptakan bukan untuk membuat “ribet” zaman, tetapi sengaja dimaksudkan sebagai prosesi penyucian untuk mencapai langit.
Walaupun akhir-akhir ini, seiring perkembangan zaman, saling memaafkan sebelum Ramadan dilakukan secara virtual, baik melalui WhatsApp, Instagram, Facebook dan ragam media sosial lainnya. Teknologi yang hadir telah meringkas waktu dan ruang, yang unsur perjumpaannya (tatapan, kehangatan dan kerinduan) terasa kering dan bahkan lenyap.
Belum jika kita menyaksikan deretan senyuman elit yang banyak bertebaran di spanduk dan baliho, hingga teranyar adalah poster-poster digital (flyer) yang beredar pada sejumlah story dan snapachat hanya untuk sekedar mengucapkan selamat memasuki bulan suci Ramadan secara simbolik. Seperti tak lengkap Ramadan jika tak ada poster-poster tersebut.
Bahkan beberapa masjid seperti papan iklan yang menyewakan halamannya untuk ditutupi baliho yang sifatnya bukan untuk mengucapkan selamat, tetapi mempromosikan komoditinya.
Ramadan pun mulai digeser konteksnya, dari arena teologis menjadi arena produksi. Sebagai arena produksi, Ramadan dapat dipahami dari dua sisi, makro dan mikro. Dari sisi makro, Ramadan telah menjadi ajang perebutan kepentingan ekonomi dari perusahaan-perusahaan besar, media massa dan negara (elit politik) dalam rangka mengejar kepentingannya masing-masing.
Perusahaan besar sangat intens menawarkan produk yang bernuansa Ramadan. Bahwa citra yang seharusnya tercipta saat Ramadhan–versi perusahaan adalah kemenangan di Ramadan dapat diraih dengan mengkonsumsi produknya. Media massa juga sangat perhatian dengan lebaran. Keuntungan finansial dari iklan perorangan atau pemerintah menjadi target utama media massa.
Dari sisi mikro, Ramadan telah menjadi arena perjuangan individu, keluarga, komunitas dan masyarakat untuk peneguhan eksistensi diri. Pertunjukkan pertandingan ini bukan saja terjadi melalui wacana-wacana dan simbol-simbol hegemonik yang diekspresikan dalam setiap kegiatan. Contohnya, ketika dalam sholat tarawih atau buka puasa bersama, aksesoris kehidupan pun dipertontonkan. Kita mengakui bahwa semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri.
Secara sadar masyarakat menorehkan identitas baru dalam batas waktu tertentu untuk gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel pada pilihan-pilihan kegiatan Ramadan yang dilalui. Belum lagi jika kita melihat ekspresi masyarakat dalam mengkonsumsi ragam kuliner yang diselenggarakan secara biner. Ramadan pun berhasil dipreteli keanggunannya.
Ramadan pun akhirnya melahirkan keterasingan. Sekedar penampilan semata. Hanya fashion. Hanya dominasi sosial yang terjadi. Karena dalam skema produksi, yang sah dan memiliki posisi sosial dalam industri adalah yang memiliki akses dan modal. Heru Nugroho mengatakan bahwa dalam skema produksi, yang menjadi sasaran empuk pasar adalah tubuh.
Tubuh dalam hal ini akan dibagi dalam dua, yakni tubuh luar dan dalam. Tubuh luar akan ”dipaksa” mengkonsumsi segala hal yang berkaitan dengan kosmetik dan pakaian-pakaian trendy agar bisa mendapatkan status sosial dalam sebuah masyarakat. Tubuh bagian dalam akan ”dipaksa” mengkonsumsi obat-obatan, kuliner dan berbagai hal yang mesti dimasukkan ke dalam tubuh untuk mendapat ”legitimasi” untuk dikatakan ”sehat” dan bisa masuk dalam ruang masyarakat yang harus ”higienis”. (Heru Nugroho, 2004). 
Ramadan pun menjadi ruang konstruksi identitas baru manusia. Semua diarahkan pada identitas yang semu, menuju keberagamaan palsu (pseudo-religiosity) dan akhirnya mencapai Ramadan yang semu/palsu (pseudo Ramadan). Sebagai penutup, sudah semestinya kita memeriksa kembali semangat Ramadan kita, mumpung masih berada pada hari-hari awal.
Pendapat Ibn ’Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah menjadi pas untuk kita kontekstualisasi pada keterasingan kita dalam ”Ramadan yang materil”. Bagi Ibn ”Arabi, puasa adalah ritual negatif yang menjadi “beban yang wajib”, yang begitu beda dengan fitrah manusia seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, dan marah ketika dicaci-maki. Puasa mengekang fitrah manusia.
Puasa adalah “beban yang diwajibkan” untuk kehidupan asketik dalam kehidupan manusia. Tanpa unsur pengorbanan kepentingan diri dan asketisisme, tidak mungkin ada kehidupan spiritual. Karena itu, Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa puasa pada hakikatnya adalah meninggalkan, bukan melakukan. (Muhammad Al Fayaddl, 2012).
Semoga, Ramadan yang masih “awal” ini masih bisa kita manfaatkan untuk senantiasa mengoreksi arah dan tujuan kita dalam merayakan Ramadan, tujuannya agar “kesempatan” ini, yang belum tentu pada tahun-tahun berikut masih dapat kita lewati dan syukuri dengan segala keanggunannnya yang masih belum semuanya tersingkap.(*).

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan