HABARI.ID I Penyelenggaraan rapid test mandiri di rumah sakit dan Puskesmas, masih dilema. Pasalnya, hampir rata-rata stok rapid test kit yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan ini, berasal dari pengadaan pemerintah yang peruntukannya khusus penanganan Covid-19.
Akan jadi janggal, jika stok rapid test kit itu digunakan untuk keperluan pribadi melalui rapid test mandiri dengan biaya mahal yang sepenuhnya tanggung masyarakat.
Berita Terkait: Keluar-Masuk Wilayah Harus Rapid Test Mandiri, Sekali Rapid Segini Biayanya …
Begitu pun sebaliknya, rumah sakit dan Puskesmas juga tak boleh menyelenggarakan rapid test mandiri secara cuma-cuma (gratis), selama masih menggunakan stok rapid test kit milik pemerintah.
Pemerintah (sepertinya) memang harus menyiapkan payung hukum tentang penyelenggaraan rapid test mandiri ini. Soal rapid test mandiri, masih diperbedatkan publik hingga kini. Bukan hanya tentang biayanya mahal, tapi soal ‘asal-usul’ rapid test kit yang digunakan juga diperdebatkan.
Payung hukum sebagai legal standing penyelenggaraan rapid test mandiri ini, mulai disiapkan dan dirancang pemerintah kabupaten Gorontalo. Jelas akan ada konsekuensi hukum, jika alat rapid test tersebut digunakan tidak sesuai peruntukan.
Menurut Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo, payung hukum seperti Perda, dibutuhkan untuk mempertegas batas kewajaran tentang penggunaan alat rapid test, terutama rapid test kit yang diadakan pemerintah yang peruntukannya khusus untuk penanganan Covid-19.
Regulasi ini, kata Bupati, juga dibutuhkan untuk pengatur biaya yang ditimbulkan dari penyelenggaraan rapid test mandiri yang dibebankan kepada masyarakat untuk keperluan bepergian dan keperluan pribadi lainnya. Standar harganya harus diatur.
“Penting bagi kita (pemerintah) untuk menyiapkan regulasi, agar pihak swasta yang menyelenggarakan rapid test tidak mematok harga tinggi yang dibebankan kepada masyarakat yang ingin melakukan rapid test atas inisiatif sendiri,” kata Nelson.
Khusus untuk wilayah kabupaten Gorontalo, kata Nelson, peraturan daerahnya masih dirancang. “Kita sementara merancang ini. Dan kita buat klaster harganya agar masyarakat tidak terbebani,” ungkap Nelson Pomalingo.
Soal dilema rapid test mandiri ini, juga dikomentari oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Roni Sampir.
Roni kembali menegaskan, jika alat yang digunakan untuk melayani masyarakat yang ingin rapid test mandiri adalah rapid test kit milik pemerintah, maka jelas ada konsekuensi hukumnya.
“Alat itu diadakan dengan menggunakan anggaran pemerintah yang peruntukannya khusus penanganan Covid-19, untuk tracing dan tracking kontak …,”
“Kalau digunakan untuk rapid test mandiri dan masyarakatnya dipungut biaya, maka tindakan itu jelas menyalahi peruntukan dan berkonsekuensi hukum,” kata Roni.
Menurut Roni, rumah sakit dan Puskesmas baru bisa memungut biaya, kalau alat rapid test-nya diadakan sendiri oleh rumah sakit atau Puskesmas.
“Puskesmas dan Rumah Sakit itu kan BLUD maka mereka punya anggaran yang bisa dialokasikan untuk pengadaan alat rapid test,” ungkap Roni Sampir.
Dan regulasi yang sementara dirancang ini, juga bisa dijadikan pedoman bagi rumah sakit dan Puskesmas untuk melakukan pergeseran anggaran untuk pengadaan rapid test yang bisa digunakan untuk melayani inisiatif masyarakat yang ingin melakukan rapid test.
“Kalau rapid testnya sudah diadakan sendiri oleh rumah sakit dan Puskesmas, baru bisa menarik biaya. Ini juga yang akan diatur dalam regulasi yang sementara kita rancang,” kata Roni Sampir.(dwi/habari.id)