Oleh : Achmad Husein Hasni
Manusia Indonesia di masa sekarang (era modern) masih banyak merasakan penjajahan. Memang di masa kini sudah tidak ada lagi perang bedil-bedilan atau perang dengan menggunakan senjata, tetapi di zaman kekinian penjajahan itu sangat terasa pada aspek kebutuhan dan keinginan manusia secara lahiriah dalam kehidupan. Naluri selalu merasa tidak cukup (menginginkan sesuatu yang lebih) menjadi kodrat kebanyakan orang yang hidup di tengah situasi arus globalisasi dan teknologi yang semakin deras.
Manusia di era kekinian banyak terperdaya oleh perilaku hedonisme yang semakin di luar batas. Dengan dalih trend masa kini mereka beranggapan bahwa kita harus mengikuti apa yang sementara ramai digandrungi atau dipakai oleh orang-orang (meski bukan prioritas mereka). Tanpa sadar, mereka mencoba untuk memaksakan kehendak demi untuk memuaskan hasrat diri sendiri supaya bisa terterima pada lingkungan pergaulan mereka.
Tanpa sadar mereka mulai merasakan kebimbangan. Perilaku hidup mewah yang mulai mereka ikuti dari orang-orang di luar sana mulai menggerogoti suasana batin dan pikiran mereka. Di satu sisi jika nafsu kemewahan tidak diikuti maka kekecewaan akan menyelimuti mereka. Karena mungkin saja dengan itu mereka merasa tidak percaya diri atau bahkan bisa mendapatkan komentar yang kurang disukai dari teman-teman mereka.
Kondisi hedonisme yang tidak dapat dibendung bisa menyebabkan tekanan psikologis. Kesukaran dalam memenuhi keinginan diri (hidup mewah) menjadi suatu bentuk penjajahan di era modern. Keterbatasan pendapatan (financial yang tidak mencukupi) menjadi jalan orang-orang melakukan hal-hal yang negatif seperti korupsi (mencuri), menipu atau menjilat kekuasaan dengan tujuan hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Mereka sudah teradiksi dengan perilaku hedonisme sehingga diri mereka merasa terjajah oleh kondisi ekonomi dan sosial (realitas hidup).
Keadaan seperti yang penulis ungkapkan di atas banyak dirasakan oleh anak-anak muda/remaja (generasi millennial atau generasi Z). Generasi sekarang ini mulai sulit untuk bisa keluar dari zona kenyamanannya. Mereka terkoptasi dengan fasilitas yang ada sekarang. Mereka tidak punya semangat juang yang menyala-nyala. Tidak mau mengeuarkan effort lebih dalam berusaha (sukar untuk bersusah-payah). Sehingganya banyak dari mereka yang sulit untuk survive (bertahan) dari kesusahan yang dialaminya. Tidak ada keterhandalan yang bisa dipakai dari mereka. Semuanya sekedar berharap bantuan dari kenalan atau orang gorontalo bilang orang dalam.
Sulit untuk beradaptasi menjadi keterhambatan mereka untuk maju. Jika kita mengamati realitas mahasiswa sekarang (penulis mengamati kondisi mahasiswa yang ada di Kota Gorontalo), cukup sedikit mereka yang bisa survive dengan keadaan dirinya. Adanya inisiatif untuk maju dan belajar menjadi pangkal untuk mereka bisa berprestasi dan beruntung (dalam banyak aspek). Kebanyakan dari mereka malah tergerus dengan puji-pujian yang sama sekali tidak membawa keuntungan bagi diri mereka. Mereka hanya memperlihatkan eksistensi tanpa ada kontribusi yang aktual.
Mereka terjebak dalam hiruk-pikuk kegengsian. Realita yang sama sekali tidak dapat mengantarkan mereka untuk mejadi orang yang terampil dan handal. Mereka tidak punya inisiatif dalam belajar. Kemerdekaan hidup yang hakiki belum mereka rasakan. Terperdaya dan terhimpit antara melakukan yang benar tapi direndahkan oleh orang lain atau malah melakukan hal yang salah untuk mendapatkan sanjungan.
Itulah realita yang terjadi sekarang. Kenyataan yang harus dihadapi hari ini. Mereka belum memiliki nilai jual. Integritas sebagai manusia belum muncul pada diri mereka. Manusia mulai bersifat asosial. Kenyataan itu harus diterima sebagai dampak dari kemerosotan kita dalam menjaga nilai-nilai luhur yang diwarisi oleh orang tua kita. Nampaknya terdapat kegagalan dalam merawat budaya bangsa Indonesia yang baik ini. Transformasi zaman menyebabkan watak anak muda terdegradasi (tidak seperti orang tua dulu yang bisa survive dengan kondisi apapun).
Untuk mengatasi hal tersebut. Rupanya tidak salah jika kita belajar dan memaknai segala sesuatu yang ada di zaman dahulu. Lihat perjuangan orang tua kita dalam bertahan hidup di tengah terhimpitnya kondisi ekonomi yang ada pada saat itu. Lihat perjuangan orang tua kita dulu dalam menuntut ilmu (menempuh pendidikan). Orang-orang besar lahir bukan dengan cara yang instant. Ada banyak yang dikorbankan untuk bisa meraih segala hal yang dibutuhkan oleh mereka. Untuk kesuksesan sendiri, penulis merasa bahwa itu adalah gabungan dari ikhtiar yang luar biasa dan doa yang konsisten dipanjatkan.
Penjajahan bukan hanya bisa dikaalhkan oleh tenaga (fisik), tetapi juga harus memiliki pengetahuan. Ilmu pengetahauan menjadi jalan untuk kita bisa keluar dari bentuk penjajahan ultra modern seperti saat ini. Belajar adalah suatu proses dalam mencapai ilmu pengetahuan yang luhur. Dengan berpengetahuan manusia bisa melakukan sesuatu yang terbaik untuk kemaslahatan diri dan orang banyak.
Bisa jadi juga dengan berpengetahuan manusia bisa menjadi penguasa. Dengan power yang dimilikinya, dia bisa merubah suatu keadaan (sistem) dari yang buruk aau lemah menjadi baik atau kuat. Dengan kekuasaan, manusia dapat memilki otoritas. Apabila seseorang memiliki keimanan yang kokoh pada Tuhan-nya, juga memiliki pengetahuan yang memadai dalam mengatasi masalah. Pasti segala bentuk keputusan akan bernilai kebaikan. Tetapi jika hal yang demikian tadi tidak dimiliki oleh seorang pemimpin, niscaya keburukan yang akan terjadi pada apa yang dilakukannya.
Dengan demikian, belajar menjadi hal yang paling penting dalam meraih kemerdekaan modern. Belajar untuk hidup sederhana, belajar untuk beradaptasi dalam melalui tekanan hidup yang tiada hentinya, serta belajar untuk bisa menjadi pembawa kemaslahatan bagi orang-oran yang ada di sekitar. Kemerdekaan adalah hal pokok yang senantiasa diperjuangkan oleh semua orang. Pertanyannya adalah apakah diri kita sudah merasa merdeka saat ini?. Jika belum maka belajarlah.
Penulis adalah Anggota Peneliti PuSAR Indonesia dan Ketua FKMM Gorontalo.