Ruang Publik, Trotoar dan Anak Muda Kreatif: Menata Keadilan dari Pinggir Jalan

oleh -91 Dilihat
oleh

HABARI.ID I “Ruang publik bukan sekadar tempat kita melintas, tetapi ruang di mana kita belajar hidup berdampingan.”

Oleh: Husin Ali – Antropolog.

1. Ruang yang Tak Sekadar Ruang

Trotoar, dalam pandangan hukum, adalah ruang pejalan kaki. Ia bagian dari fasilitas publik yang menjamin hak warga untuk bergerak dengan aman.

Namun dalam pandangan antropologi, trotoar adalah *ruang hidup*— tempat interaksi sosial berlangsung, tempat budaya kota bernafas, dan tempat manusia bernegosiasi dengan lingkungannya.

Di banyak kota di Indonesia, termasuk di Gorontalo, trotoar kini menjadi panggung kecil kehidupan.

Anak-anak muda kreatif hadir di sana: menjual kopi dengan konsep ramah lingkungan, memajang karya seni, bermain musik, atau menggelar bazar mikro berbasis komunitas.
Bagi sebagian orang, ini hanyalah bentuk ekonomi jalanan.

Tapi bagi antropologi, ini adalah *ekspresi kebudayaan urban baru*-bukti bahwa ruang publik tidak mati.

“Kota yang hidup adalah kota yang memberi ruang bagi warganya untuk berimajinasi, bukan sekadar berjalan.”

2. Ketika Kreativitas Bertemu Aturan

Hukum memandang ruang publik sebagai aset negara yang harus diatur agar fungsinya tidak terganggu. Karena itu, muncul regulasi tentang penggunaan trotoar, izin usaha, dan pengendalian aktivitas di ruang terbuka.

Namun, di sisi lain, semangat anak muda kreatif sering tumbuh spontan. Mereka hadir bukan karena diundang, tetapi karena dorongan untuk menghidupkan ruang kosong menjadi ruang makna.

Inilah titik pertemuan antara hukum dan antropologi.

Hukum menjaga ketertiban; antropologi mengingatkan agar keteraturan tidak menghapuskan kemanusiaan.

Ketika dua pendekatan ini saling memahami, lahirlah kebijakan yang tidak sekadar menata ruang, tapi juga menata hubungan sosial.

“Menertibkan tidak berarti mematikan, dan memberi ruang tidak berarti kehilangan kendali.”

Kota yang ideal bukan yang steril dari manusia, melainkan yang mampu menyeimbangkan hak pejalan kaki, kebutuhan ekonomi kecil, dan aspirasi budaya warga.

Pemerintah daerah dapat menjadikan trotoar bukan sekadar jalur lewat, tetapi *galeri publik terbuka*, tempat ekspresi budaya dan ekonomi mikro berjalan berdampingan dengan tertib dan indah.

3. Masyarakat yang Kontradiktif: Sebuah Cermin

Sebagian warga mendukung aktivitas anak muda di trotoar karena melihatnya sebagai bentuk energi positif kota. Namun sebagian lain merasa terganggu, menganggapnya menghalangi kenyamanan publik.
Kedua pandangan ini sah dan di sinilah kita perlu *kebijaksanaan sosial.*

Sebagai antropolog, saya percaya setiap kontradiksi sosial adalah tanda bahwa masyarakat sedang belajar menyesuaikan diri dengan perubahan.

Kita perlu merawat perbedaan pandangan dengan sikap menyejukkan, bukan dengan saling meniadakan.

“Ketika kita berhenti saling menilai dan mulai saling memahami, kota kita akan menjadi tempat yang lebih damai untuk tumbuh.”

Dialog antarwarga menjadi kunci: antara pedagang dan pengguna jalan, antara seniman dan aparat, antara pemerintah dan komunitas muda.

Di titik pertemuan itu, hukum bisa hadir sebagai *jembatan pengertian*, bukan palu pemisah.

Keadilan ruang publik harus dibangun bukan hanya dari pasal, tetapi dari empati.

*4. Menata dari Pinggir Jalan*

Sebagai ruang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, trotoar menyimpan potensi besar. Ia bisa menjadi simbol *keadilan spasial* jika ditata dengan kebijakan yang manusiawi.
Kita bisa bayangkan: trotoar yang bersih, aman, namun tetap hidup-dengan zona ekspresi seni, area dagang kecil, dan ruang pertemuan komunitas.

Pemerintah daerah dapat melibatkan *komunitas kreatif dan akademisi antropologi* untuk merancang pola pemanfaatan ruang publik berbasis budaya lokal. Dengan begitu, kebijakan tidak hanya menertibkan, tapi juga *memelihara kehangatan sosial dan kebanggaan warga terhadap kotanya.*

“Menata ruang kota berarti menata relasi manusia di dalamnya.”

5. Penutup: Kota yang Dihidupkan Warganya

Kota yang indah bukan yang paling rapi, tetapi yang paling manusiawi. Trotoar bukan hanya untuk kaki, tetapi juga untuk mimpi.

Anak muda kreatif di ruang publik adalah simbol harapan-bahwa di tengah keterbatasan, masih ada semangat untuk mencipta, berbagi, dan memberi warna pada kehidupan kota.

Masyarakat yang kontradiktif tidak perlu disalahkan; mereka hanya perlu dijembatani.
Karena sejatinya, kita semua menginginkan hal yang sama: *kota yang tertib, adil, dan hangat bagi semua.*

“Kota yang baik tidak diukur dari panjang jalan yang dibangun, tetapi dari seberapa besar hati warganya dalam berbagi ruang.”

Tentang Penulis:
Husin Ali adalah seorang antropolog yang menaruh perhatian pada kajian ruang publik, budaya kreatif perkotaan, dan interaksi sosial antara kebijakan dan kehidupan warga.

Baca berita kami lainnya di