HABARI.ID, KOTA GORONTALO I Salah satu jenis kekerasan seksual yang paling memprihatinkan adalah tindak pidana inses, yang merupakan pelanggaran besar terhadap norma agama, sosial, moral, dan hukum. Inses, khususnya yang dilakukan oleh ayah kandung terhadap anaknya, merusak hubungan keluarga dan korbannya secara fisik, psikologis, dan sosial. Korban inses sering kali menghadapi stigma, isolasi, dan kesulitan mendapatkan perlindungan dan pendampingan hukum yang memadai. Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki kebijakan pemerintah daerah yang luas untuk mencegah dan menangani kasus inses.
oleh: Nurhayati Abdullah, SST., M.AP. “Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Gorontalo, Mahasiswa S3 Program Pasca Sarjana Administrasi Publik (UNG)”
Secara sosial, fenomena inses di mana ayah kandung berperan sebagai pelaku sering kali tersembunyi dan sulit diungkap karena hubungan kekuasaan yang tidak adil dalam keluarga. Karena ancaman atau tekanan dari pelaku serta kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, korban yang umumnya adalah anak perempuan cenderung takut untuk melapor. Bahkan di Provinsi Gorontalo, yang memiliki semboyan “Aadati hula-hula to Sara’, Sara’ hula-hula to Kuru’ani,” yang berarti “Adat Bersendikan Syara’, Syara’ bersedikan Kitabullah atau Alquran tidak lepas dari fenomena inses,” ada beberapa kasus inses yang terungkap karena korban mau menceritakannya, tetapi masih banyak yang mengalaminya tetapi tidak mau menceritakan karena menganggapnya sebagai hal yang tidak pantas.
Berdasarkan Data jumlah kasus kekerasan yang ada di P2TP2A Lahilote Kota Gorontalo Tahun 2024 terdapat 57 kasus Kekerasan baik seksual, Psikis, dan fisik yang 2 (dua) korban diantaranya adanya korban Inses yang pelakunya adalah ayah kandung dan pamannya yang saat ini sedang berproses di kepolisian dan pendampingan oleh tenaga ahli Psikolog Klinis Anak yang ada di P2TP2A Lahilote Kota Gorontalo, tahun 2022 1 (satu) korban inses dengan pelaku ayah kandung dan saat ini sedang menjalankan hukuman dengan putusan pengadilan selama 12 (dua belas) tahun penjara, dan diawal tahun 2025 kembali terjadi dua kasus Inses dengan pelaku ayah kandung yang saat sedang dalam proses dan sudah diamankan oleh Pihak Kepolisian.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, korban adalah mereka yang mengalami kekerasan atau diancam, dan/atau diancam dengan kekerasan dalam keluarga. Dalam hal ini, anak merupakan bagian dari salah satu komponen rumah tangga yang dilindungi dan berpeluang menjadi korban kejahatan seksual, sehingga juga terdapat ketentuan khusus melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Inses yang melibatkan ayah kandung sebagai pelaku di Kota Gorontalo biasanya tersembunyi. Korban pelecehan seksual sering kali tidak melaporkan insiden tersebut, menurut wawancara dengan salah satu informan, korban inses seringkali tidak melaporkan kejadian tersebut karena dipengaruhi oleh factor-faktor antara lain, Relasi Kuasa, Stigma Sosial, serta Ketergantungan Finansial.
Kekerasan seksual terhadap anak selalu menyebabkan trauma, yang dapat mengganggu korban dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan sedarah, atau incest kekerasan sering terjadi dan bahkan dapat menghasilkan anak, tetapi banyak keluarga yang tidak melaporkan karena merasa malu dan mengganggap sebagai aib keluarga. Permasalahan keluarga tidak bole dibicarakan atau dilaporkan kepada pihak berwenang karena akan membuka aib keluarga. Hal ini menyebabkan korban ataupun keluarga korban yang bersedia melaporkan kepada pihak berwajib dalam hal ini kepolisian.
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan inses merasakan pengalaman yang mengerikan karena mereka mengalami luka fisik, luka psikis serta keberfungsian mereka dalam lingkungan tidak terlaksana dengan maksimal, termasuk diasingkan oleh keluarga dan masyarakat. Korban mengalami kecemasan yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, nafsu makan menurun, sakit diarea kemaluan, serta resiko penyakit menular. Korban yang mengalami dampak fisik seringkali diabaikan atau disembunyikan karena mereka malu atau tidak ingin aibnya diketahui oleh orang lain. Korban kekerasan inses mengalami trauma yang lebih besar sehingga membutuhkan perawatan khusus untuk pemulihan Kesehatan mental. Karena pelaku dan korban memiliki hubungan darah, kekerasan inses dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual. Inses adalah Tindakan seksual yang merusak moral keluarga dan masyarakat. Dampak dari kekerasan seksual inses salah satunya adalah kehamilan dini yang menyebabkan korban kehilangan kemampuan mental dan finansial untuk memiliki anak.
Kebijakan dan Implementasi Hukum di Kota Gorontalo menunjukkan bahwa Kota Gorontalo telah menetapkan kebijakan untuk menangani korban kekerasan seksual, termasuk inses, melalui: Peraturan Daerah Kota Gorontalo Nomor 7 Tahun 2016 tentang perlindungan perempuan dan anak terhadap korban kekerasan. Peraturan ini dibentuk dalam rangka memberikan penguatan regulasi, arah, dan landasan dalam perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah bahwa pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah untuk menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah dan menjadi urusan pemerintah wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. (PERATURAN PEDIA.ID), Peraturan Daerah Kota Gorontalo Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak, peraturan ini dibentuk untuk mendukung terpenuhinuya hak anak, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Daerah, Masyarakat dan dunia usaha melalui pengembangan Kota Layak Anak. (PERATURAN PEDIA.ID), Keputusan Walikota Gorontalo Nomor 5/15/1/2024 tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lahilote Kota Gorontalo,
Implementasi kebijakan merupakan upaya bersama untuk mewujudkan formulasi kebijakan yang sudah ditetapkan. Model implementasi Edward III dalam (Chazali, 2016) merumuskan 4 (empat) variabel yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan, yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi.(Okta Windya Ningrum & Yana S. Hijri, 2022)
Upaya Perlindungan dan pendampingan hukum bagi korban inses
Tindakan preventif dan represif diupayakan untuk melindungi hak-hak korban agar tidak merasa lebih tertekan. Tindakan preventif melibatkan pembinaan, Pendidikan, dan pemahaman kepada masyarakat umum sebelum kejahatan terjadi. Tujuan dari Tindakan ini adalah untuk menghentikan atau mengurangi kejahatan memulihkan korban serta pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Adapun tindakan preventif yang dilakukan Oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kota Gorontalo melalui Bidang PPA adalah:
1. Memberikan pelayanan khusus untuk melakukan pencegahan dengan cara mengadakan sosialisasi ke sekolah, rumah-rumah warga, membuka kelas-kelas parenting secara gratis di Pusat Pembelajaran Keluara Melayani dengan Hati dan Ilmu (PUSPAGA MELATI) dan memberikan pemahaman kepada orang tua tentang pendidikan seks pada anak sejak dini.
2. Program SEHATI (Sejam Bersama Buah Hati) orangtua meluangkan waktu minimal Satu Jam dalam sehari dengan tujuan bonding atau ikatan emosional antara orangtua dan anak terbentuk sehingga anak akan percaya diri, merasa aman dan nyaman. Bonding terjadi melalui interaksi positif, perhatian, perawatan dan komunikasi melalui kegiatan belajar, bermain, mendegarkan serta mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua berperan penting untuk memberikan pengawasan secara langsung bagi tiap-tiap anggota keluarganya. Memberikan arahan terhadap anak yang menunjukan perilaku tidak normal, serta sebisa mungkin untuk tidak mencampur kamar tidur antara orang tua dengan anak, anak laki-laki dengan anak perempuan untuk mencegah timbulnya hasrat seksual yang tidak wajar pada anak;
3. Memberikan layanan terpadu terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual seperti menyediakan layanan konseling bagi anak untuk memulihkan kondisi mental miliknya, dan mengusulkan layanan terapi bagi pelaku agar setelah selesai masa hukuman tidak mengulangi kekerasan seksual lagi kepada siapapun;
Pertanggungjawaban inses juga diatur dalam UU No. 35 tahun 2014 pengganti UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dalam Pasal 76 D disebutkan, “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Pasal 76 E juga disebutkan, “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah maupun menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkup keluarga inses adalah termasuk menanamkan nilai-nilai moral dalam masyarakat melalui sosialisasi, mendorong masyarakat untuk mencegah penyebaran pornografi, dan menggunakan Tindakan hukum dengan menindak tegas pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan hukum yang diatur dalam KUHP dan undang-undang perlindungan anak. Kasus inses yang melibatkan ayah kandung sebagai pelaku di Kota Gorontalo merupakan fenomena yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang melibatkan berbagai aspek, faktor utama yang menghambat pelapor dan penanganan kasus adalah stigma sosial yang kuat dan relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Diantara konsekuensi psikologis dan sosial yang ditimbulkan oleh inses yaitu trauma, depresi, dan gangguan stres pascatrauma. Oleh kerena itu, untuk memulihkan kondisi korban layanan rehabilitasi yang komprehensif dan holistik sangat penting. Dalam pendekatan teoritis, teori relasi kuasa, feminisme, dan keadilan restoratif digunakan untuk menekankan betapa pentingnya mempertimbangkan dinamika sosial dan hukum saat menangani kasus inses. Perlindungan Hukum yang lebih baik memerlukan pendekatan strategis, seperti meningkatkan kerjasama antar lembaga, mempercepat proses hukum, dan memberikan advokasi kepada masyarakat untuk menghilangkan stigma terhadap korban, sumber daya yang memadai diperlukan untuk layanan pendampingan dan rehabilitasi. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hukum dan pendampingan bagi korban inses di Kota Gorontalo, memastikan hak-hak korban terpenuhi, serta memberikan keadilan, pemulihan dan keberfungsian sosial bagi korban.(**).