HABARI.ID, POLITI I Setiap tahun, Idul Adha datang membawa pesan pengorbanan. Bagi umat beriman, ini adalah momen untuk menundukkan ego, mengakui keterbatasan diri, dan meletakkan nilai-nilai ilahiah di atas kepentingan pribadi. Namun, jika makna itu kita bawa ke ruang politik, pertanyaannya menjadi lebih tajam: apa yang sebenarnya dikorbankan oleh seorang politisi?
Oleh: Zulfikar M. Tahuru. Politisi muda Partai Gerindra dan Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPD HIPMI Provinsi Gorontalo.
Tradisi berkurban hewan kerap menjadi simbol kepedulian sosial. Tapi sayangnya, di banyak tempat, ini hanya berhenti sebagai seremoni tahunan yang diselimuti pencitraan. Di balik barisan sapi dan kambing yang berjejer rapi, tak jarang terselip niat untuk menjaga nama, bukan menjaga nurani.
Padahal, jika kita menelusuri kisah Nabi Ibrahim, makna kurban bukanlah soal ritual, tapi soal prinsip. Ibrahim tak diperintah untuk menyembelih Ismail demi ambisi. Ia diuji untuk tunduk pada nilai yang lebih tinggi dari logika dan rasa memilikinya sendiri. Sebuah bentuk kepatuhan yang lahir dari keyakinan, bukan kalkulasi elektoral.
Inilah ujian sejati bagi politisi: apakah ia sanggup meletakkan prinsip di atas pragmatisme? Apakah ia berani menolak jalan pintas demi kekuasaan, demi tetap setia pada nilai dan integritas?
Di tengah praktik politik transaksional, keberanian semacam ini langka. Banyak yang justru mengorbankan etika demi elektabilitas, menukar idealisme dengan jabatan, dan mengorbankan masa depan rakyat demi kelanggengan kekuasaan pribadi.
Idul Adha seharusnya menjadi pengingat—bahwa dalam politik pun, ada yang lebih mulia dari sekadar menang. Yakni, menang tanpa mengorbankan yang seharusnya dijaga: akal sehat, keadilan, dan amanah rakyat.
Di tahun-tahun politik yang semakin panas ini, semoga kurban tak hanya hadir dalam bentuk daging, tapi juga dalam bentuk keberanian seorang pemimpin untuk menahan diri, memilih yang benar, meski tak selalu menguntungkan dirinya.
Karena sesungguhnya, politik yang sehat tidak butuh banyak selebrasi. Ia hanya butuh satu hal: kesediaan berkorban, ketika tidak ada kamera yang menyala.(**).