HABARI.ID, GORONTALO – Penetapan 4 tersangka terkait proyek GORR, mendapat tanggapan dari praktisi hukum, Salahudin Pakaya, SH. Menurut kajiannya, jika penetapan tersangka yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo berdasarkan pada indikasi kerugian negara,
maka penghitungan tentang adanya kerugian negara itu harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hal ini, kata Salahudin, sudah diatur dalam Undang Undang. Salahudin menyampaikan beberapa pasal yang bisa dijadikan sebagai rujukan. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), yang menerangkan tentang, apa itu kerugian negara.
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai,” kata Salahudin, mengutip penjelasan lengkap Pasal 1 angka 15 UU BPK.
Ia juga menyodorkan penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah, kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang.Yang menilai/menetapkan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK dan BPKP,” katanya.
Jadi, kata Salahudin, jika penetapan tersangka hanya berdasar pada penghitungan kerugian negara dari lembaga pendidikan (lembaga Pendidikan Tinggi), semisal universitas, itu keliru.
***
Rawan Pra Peradilan
Kalau penetapan tersangka hanya berdasarkan perhitungan kerugian negara dari lembaga yang tidak berkompoten, maka kata Salahudin, secara materil penetapan tersangka batal demi hukum.
“Penetapan tersangka terhadap empat orang itu, nantinya akan berpotensi pra peradilan. Karena penetapan tersangkannya prematur,” tegasnya.
Karena sudah sangat jelas diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU/15/2006. Lebih lanjut kata Salahudin, tersangka kasus korupsi itu merupakan perbuatan yang terbukti salah. Sehingga proses untuk menetapkan tersangka terhadap sesoorang, juga harus jelas.
“Jangan hanya berdasarkan perhitungan lembaga yang tidak berwenang. Dengan serta merta menetapkan tersangka. Karena akibatnya rawan pra peradilan,” tandas Salahudin.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanpa audit pun bisa menetapkan tersangka. Menurut Salahudin, KPK sudah diatur dalam Undang-Undang. Berbeda dengan penyidik Kejaksaan dan Polri.
“Penyidik Polri dan Kejaksaan, diatur dalam KUHP serta putusan MK. Maka sangat jelas berbeda dengan KPK,” ungkapnya.
Lebih jauh Salahudin menerangkan, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Putusan MK ini menginterpretasikan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
Terdapat empat tolok ukur yang menjadi ratio legis MK menggeser makna subtansi terhadap delik korupsi. Keempat tolok ukur tersebut adalah nebis in idem dengan Putusan MK yang terdahulu yakni Putusan MK Nomor 003/PUU- IV/2006, munculnya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam delik korupsi formiil.
Sehingga diubah menjadi delik materiil, relasi/harmonisasi antara frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam pendekatan pidana pada UU Tipikor dengan pendekatan administratif pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan dan adanya dugaan kriminalisasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menggunakan frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam UU Tipikor.(fp/pr/habari.id)