HABARI.ID, POHUWATO – Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Pohuwato telah menjadi arena yang mempertontonkan perbedaan kelas penanganan antar dua institusi penegak hukum. Di satu sisi, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo menunjukkan kelasnya dengan sikap sigap dan profesional. Di sisi lain, Polres Pohuwato menampilkan performa yang lamban dan mengecewakan.
Perbedaan kelas ini terlihat jelas dari lini masa penanganan. Kejati Gorontalo hanya membutuhkan waktu sekitar dua minggu sejak laporan diterima untuk membentuk tim, melakukan analisis, dan turun langsung ke lokasi yang dilaporkan. Sebuah prosedur standar yang dijalankan dengan cepat dan efisien, menunjukkan keseriusan dan pemahaman atas urgensi masalah.
Bandingkan dengan Polres Pohuwato. Selama empat tahun, mereka menerima informasi, laporan, dan keluhan yang sama. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada tindakan penegakan hukum yang signifikan, tidak ada penghentian aktivitas, dan tidak ada solusi bagi masyarakat terdampak. Kelambanan ini bukan lagi soal teknis, tetapi sudah menyangkut komitmen dan kemauan.
Sikap sigap Kejati juga tercermin dari langkah mereka yang komprehensif. Mereka tidak hanya fokus pada aktivitas ilegal di lapangan, tetapi juga langsung mengendus adanya potensi kerugian negara, korupsi, dan tindak pidana pencucian uang. Ini menunjukkan pendekatan penegakan hukum yang modern dan berlapis, membidik kejahatan dari berbagai sisi.
Sementara itu, pendekatan Polres Pohuwato yang lamban telah menyebabkan masalah berlarut-larut. Dampak kerusakan lingkungan semakin meluas, kerugian negara terus membengkak, dan para pelaku semakin merasa di atas angin. Kelambanan ini secara efektif memberi ruang bagi kejahatan untuk tumbuh subur dan mengakar.
Kasi Penkum Kejati Gorontalo, Dadang Djafar, menyatakan bahwa peninjauan lapangan adalah bagian dari prosedur untuk mendalami laporan. “Semua temuan ini akan menjadi bahan pendalaman bagi kami,” jelasnya. Pernyataan ini menunjukkan profesionalisme dan kepatuhan pada proses, sesuatu yang tidak terlihat dari rekam jejak penanganan kasus ini di tingkat lokal.
Perbedaan kelas ini pada akhirnya berdampak langsung pada kepercayaan publik. Masyarakat kini melihat Kejati sebagai institusi yang responsif dan dapat diandalkan. Sebaliknya, citra Polres Pohuwato terlanjur tercoreng oleh kelambanan mereka sendiri. Mereka terlihat tidak kompeten dalam menghadapi kejahatan terorganisir di wilayah yurisdiksi mereka.
Fakta bahwa Kejati yang harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah di tingkat kabupaten adalah anomali yang memalukan. Ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik di level bawah yang memerlukan evaluasi dan perbaikan serius. Kasus ini menjadi tolok ukur yang jelas tentang bagaimana seharusnya penegakan hukum dijalankan.
Pada akhirnya, publik tidak hanya menuntut agar pelaku PETI dihukum seberat-beratnya. Publik juga menuntut adanya pertanggungjawaban dari Polres Pohuwato atas kelambanan mereka. Perbedaan kelas penanganan ini harus menjadi pelajaran mahal agar penegakan hukum di daerah tidak lagi berjalan di tempat.(fp/habari.id)