Bukber Sebagai Praktik Kesalehan Sosial

oleh
bukber
Ilustrasi buka puasa bersama.(f/istimewa).
banner 468x60

HABARI.ID I Dalam situasi Ramadan, buka bersama adalah salah satu tradisi yang tidak boleh absen untuk dilakukan. Buka bersama atau Bukber ini pertama kali dilakukan di masjid secara sederhana.

Tradisi ini diperuntukan untuk kaum duafa, atau para musafir dan perantau. Tujuannya sederhana: selain untuk mengikuti ajaran muslim dahulu, tradisi ini juga untuk mempererat silaturahmi.

Namun lambat laun, perkembangannya menjadi lebih tranfomatif. Bubker tidak lagi menjadi bagian penting dari rutis, melainkan berkembang lebih jauh lagi ke dalam praktik sosio-religius yang modern.

Apa buktinya? Semua cafe, resto, warkop hingga warung bakso tak pernah sepi oleh agenda bukber ini. Semua panen. Ludes. Tak ada yang tersisa.

Jika kita panyau dari timeline media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp dan berbagai story medsos, bukber adalah praktik “mengingat”.

Kita sebut sebagai praktik mengingat, karena lebih banyak bukber dilaksanakan oleh komunitas “masa lalu” yang dihadirkan pada hari ini.

Bisa kita lihat bukber alumni SD, SMP, SMA, kuliah dan satu kos, sepermainan. Bukber terjadi karena dirangkai oleh ingatan pada masa lalu. Ada memori yang hendak dibangkitkan, untuk dikenang dan dirayakan sambil tertawa dengan bahagia.

Bukber konteks ini berhenti pada sekedar mengingat, bahkan meski merogoh kocek yang cukup besar. Selain itu, dalam konteks yang lebih luas, bukber juga terjadi karena alasan-alasan kekinian, misalnya satu kantor, se-organisasi, profesi, keluarga dan bukan satu hoby serta karena kepentingan politis.

Bukber dalam konreks ini diikat oleh kepentingan kekinian, kepentingannya untuk merawat harmoni agar masa depan bisa lebih solid. Buber selalu ditutup oleh foto bersama, adajuga selfie.

Bahkan di beberapa komunitas, mulai digunakan spanduk sebagai penanda komunitas tersebut. Misalnya angkatan sekolah, tahun lulus atau brand komunitas tersebut.

Tujuannya adalah mengikat untuk solidaritas yang lebih kuat. Namun, selain frekuensi bukber yang mulai meningkat, kecenderungan yang terjadi yakni bobot perjumpaan yang mestinya produktif malah semakin ahistoris.

Format perjumpaan tidak jauh dari mengenang dan kemudian merawat memori bersama. Bahwa ada kehidupan di “kala itu” yang perlu dihidupkan, walau itu hanya dalam memori.

Itu semua menjadi baik tatkala perjumpaan ini lebih dititikberatkan pada upaya mengelaborasi memori kolektif masa lalu dengan memproduksi agenda masa depan yang lebih taktis dan strategis, bukan sekedar berhenti pada agenda “mengenang” berikut kepentingan-kepentingan politis jangka panjang yang bermanfaat bagi segelintir orang saja.

Untuk itu, bukber tidak bisa berhenti pada praktik konsumsi semata, atau sekedar mengingat memori, tapi mesti lebih diarahkan untuk menciptakan kesalihan sosial.

Saya memaksudkan kesalihan sosial sebagai sebuah praktik seorang muslim untuk berbagi dan merasakan salah satu spirit Ramadan, yakni empati atau perasaan untuk terlibat dengan masyarakat yang lebih luas.

Perasaan empati ini diilustrasikan secara sederhana oleh Nabi Muhammad dengan adagium “sebaik-baik manusia adalah dia yang bermanfaat untuk orang lain!”. Tanpa sebuah kesalihan sosial, ibadah Ramadan menjadi kurang komplit, bahkan tidak berarti apa-apa sama sekali.

Sedangkan dengan berbagi kepada sesama, esensi bukber menjadi lebih mengingatkan kewajian kita, tanggung jawab kita kepada sesama manusia.

Lantas, bagaimana praktiknya sekarang? Sederhana. Misalnya, di tengah tsunami penderitaan yang sedang dialami bangsa ini akibat pandemi COVID-19, dan ditengah jutaan kaum miskin yang tidak bisa makan bahkan mati kelaparan.

Di titik inilah bukber menjadi salah satu kesempatan untuk berkumpul dan menjadi ajang untuk memupuk kebaikan.

Bukber transformatif adalah bukber yang memiliki agenda kebangsaan dan keumatan. Bukber mesti menjadi momentum untuk menggalang solidaritas pada kaum miskin dan korban rezim.

Sehingga, pada konteks itu, buka puasa di bulan Ramadan tidak sekedar menjadi praktik kuliner yang bersifat privat. Bukber bukan lagi ajang kontestasi, tapi sebagai praktik keagamaan yang berdampak pada kebangkitan umat secara kolektif.

Tatkala kondisi bangsa yang kini berada di tubir kehancuran, perlu adanya upaya perbaikan bersama. Menjadi urgen kiranya untuk membangkitkan “kerumunan-kerumanan” yang disolidkan oleh “kenangan” untuk ditransformasi menjadi agenda dan format baru yang lebih fresh dengan landasan memori kolektif yang kuat.

Sebagai penutup, saya mengutip Habib Umar bin Hafidz dalam bukunya “Amal Pemusnah Kebaikan”, Habib Umar menyampaikan bahwa salah satu penyebab kehancuran terbesar bagi anak Adam adalah nafsu terhadap makanan (syahwat al-bathn). Karena nafsu tersebut, Adam dan Hawa a.s dikeluarkan dari negeri kedamaian (surga).

Nafsu ini akan diikuti oleh nafsu birahi (syahwat al-farj), lalu dibuntuti oleh nafsu pada kedudukan dan harta, lalu diikuti oleh bentuk kebebalan dan kebencian. Kemudian lahir darinya penyakit pamer, bangga dan sombong.

Ini yang kemudian menyebabkan tingkat kezaliman dan kemungkaran. Semua hal ini adalah buah dari kelalaian dalam mengendalikan lambung dan mencegahnya dari kekenyangan.

Kondisi bangsa hari ini sedang ditimpa penderitaan yang luar biasa membutuhkan kepoloporan menjadi lahan basah bagi “pereuni-pereuni” ini untuk lebih fokus pada agenda kebangsaan di masa depan. Keberpihakan secara kolektif sangatlah urgen hari ini.

Deraan kemiskinan, pengangguran, kemorosotan mental dan ribuan masalah lainnya membutuhkan kepoloporan baru yang lebih friendly, ideologis dan digital. Pada konteks itu, perjumpaan yang dibalut oleh bukber baik mengenang masa lalu atau alasan praktikal lainnya menjadi pas dengan kebutuhan mendesak bangsa hari ini.

Bukber tidak sekedar berhenti di mengenang masa lalu, apalagi hanya menkonsumsi makanan mewah dan enak semata, tapi juga menjadi bagian dari mencetak sejarah emas di masa kini dan masa akan datang.

Semoga, apa yang menjadi kita praktikkan selama ini masih bisa dikendalikan, dikelola dan hingga berdampak positif pada bangkitnya umat Islam, bukan pada arah yang sebaliknya; kehancuran. Semoga kita sekalian beroleh petunjuk dan berkah, untuk umat dan bangsa ini, khususnya pada 10 hari kedua di bulan suci Ramadan ini.(*).

Baca berita kami lainnya di

Tinggalkan Balasan